Sebenarnya aku gak mau banyak basa basi, jadi i hope you enjoy this story and don't forget to vote.
Happy reading
°
°
°
°Yah.. Sepertu hari-hari sebelumnya, hari aku makan di kamar. Lagi. Entah untuk keberapa kalinya.
Aku masih tidak yakin dapat menahan tangisku bila melihat Evan dan Lucy bersama di meja makan.
Tok tok tok
Suara pintu kamarku diketuk.
"Siapa itu?" Tanyaku.
Namun tak ada sahutan dari luar. Kurunkan badanku dari ranjang menuju pintu.
Kret
Sesaat setelah aku membuka pintu, hal pertama yang aku lihat adalah mata yang kurindukan.
Dia Evan. Menatapku dalam dengan mata merah darahnya.
"Ada apa?" Tanyaku sambil menyembulkan sebagian tubuhku di celah pintu yang tak kubuka sempurna.
"Ada yang ingin kubicarakan" Ucapnya.
"Bolehkah aku masuk?" Tanyanya.
Sejujurnya aku tidak yakin untuk membiarkan Evan memasukki kamarku. Namun aku tidak mungkin seperti itu, karena seperti yang kalian tahu bahwa ini adalah kerajaan Evan sendiri.
"Silahkan" Ucapku sembari membuka pintu kamarku lebar.
Kulihat Evan duduk di sofa panjang tempat biasa aku bersantai.
"Ada apa?" Tanyaku sembari duduk disebrangnya.
"Em begini.."
Ucapan Evan yang ragu-ragu seperti itu membuat hatiku tidak tenang.
"Aku akan pergi besok untuk ekpedisi ke wilayah barat selama 1 minggu" Ucapnya.
"Jadi?" Tanyaku.
"Ah aku hanya ingin memberitahumu" Ucapnya kikuk sambil mengusap leher belakangnya.
Aku diam menunggu ucapannya selanjutnya. Suasananya saat ini sangat canggung, sepertinya kami tidak pernah secanggung ini dari awal pertemuan.
Setelah terdiam beberapa saat kulihat dia membuka mulutnya lagi seperti akan berbicara lagi.
"Emm aku membaca suratmu... Dan kau bilang membeli kalung pasangan dengan bandul batu sihir. Aku sedikit kesal karna kau tidak memberi tahuku apa fungsinya" Ucapnya sambil tersenyum.
"Kau membaca suratku tapi kau tidak membalasnya?" Tanyaku dengan suara datar dan mata tajam kearahnya.
"Emmm maaf... Saat itu ada sesuatu yang harus aku urus" Ucapnya dengan mimik wajah canggung.
"Lucy?" Tanyaku tepat sasaran.
"Bu-bukan begitu" Jawabnya terbata.
"Sudahlah Evan. Dari awal memang aku yang bodoh berharap bisa menjadi prioritasmu. Dan di sini aku akhirnya tahu, bahwa Lucy masih menjadi yang pertama bagimu sekeras apapun aku mencoba" Ucapku tanpa melihat matanya.
Kulihat dia tak bergeming. Matanya memancarkan kesedihan dan membuat perasaanku tidak enak setelah mengatakan hal itu.
Namun aku tetaplah aku. Wanita bermulut sarkas yang tidak memedulikan perasaan orang lain ketika marah.
Kami terdiam cukup lama, dapat kulihat Evan hanya menunduk memandangi sepatunya yang terlihat seperti biasanya.
Aku bangun dari sofa dan berjalan menuju lemari. Kuambil kotak beludru biru yang kuletakkan dalam lemari.
"Ini" Ucapku sembari memberinya kalung yang kubeli di festival bulan.
Dapat kulihat wajahnya yang menatapku tidak percaya.
Dengan sedikit raut kebingungan dia berkata "U-untukku?"
"Kalau kau tidak mau kau bisa membuangnya" Jawabku.
"TIDAK! AKU MAU!!" Ucapnya berteriak.
Evan langsung bangun dari duduknya dan menghampiriku. Kulihat wajahnya yang senang seolah mendapat hadiah dari Santa Claus.
"Dengan senang hati aku menerimanya" Ucapnya tersenyum.
"Sini aku pakaikan" Ucapku kepadanya.
Setelah ku pakaian, Evan langsung memegang bandul yang terdapat pada kalung itu.
"Kau belum memberitahu ku apa fungsi batu sihir ini" Ucapnya sambil menatapku dengan kehangatan.
"Aku tidak akan memberitahu mu" Mengapa dia penasaran sekali? Aku tidak mau dianggap konyol dengan memberi tahunya apa fungsi batu itu.
"Tak apa. Aku akan tetap memakainya walaupun aku tak tahu apa fungsinya"
Mengapa dia bersemangat sekali? Pikirku.
"Bagaimana jika itu adalah batu kutukan?" Tanyaku.
"Aku tidak peduli" Ucapnya.
"Bagaimana bisa kau tidak peduli? Apa alasanmu?" Tanyaku sedikit kesal setelah mendengar bahwa dia tidak begitu peduli dengan nyawanya.
"Karna ini hadiah pertama darimu" Ucapnya sambil tersenyum manis.
Deg deg deg
Hei! Ayolah jantungku, mengapa kau berdetak sehebat ini hanya karena perkataan dan senyumnya.
Aku sudah bertekad untuk menjauhi Evan selama Lucy di sini. Namun mengapa jantungku tidak dapat diajak kompromi.
Sebelum Evan melihat wajahku yang merona lebih baik aku mengusirnya.
"Kau bisa keluar sekarang"
"Kenapa? Apa aku melakukan kesalahan?" Tanyanya khawatir.
Mengapa ini terasa seperti deja vu. Kejadiannya mirip seperti saat aku menemuinya di ruang kerjanya saat pertama kali datang ke sini.
"Memang masih ada yang perlu kau biacarakan?" Tanyaku sarkas.
"Tidak sih... Tapi kukira kau akan bercerita apa yang kau lakukan saat di Valdrick tanpaku" Jawabnya.
"Kau ingat? Aku sudah mengirimu pesan" Ucapku.
"Pesan yang tak kau balas" Lanjutku.
Langsung kubuka pintu kamarku. Berharap dia keluar dan pergi. Sepertinya aku masih belum baik-baik saja.
Halo semuanya... Aku di sini mau ngucapin minal aidzin wal faidzin. Selamat hari raya idul fitri. Maaf kalo aku updatenya lamaaa soalnya lagi ngurusin rl wkwkkwkw.
See you in next chap :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Who Am I
Historical FictionReinkarnasi. Yah percaya atau tidak itu terjadi padaku yang entah bagaimana caranya bisa masuk kedalam suatu webnovel yang kubaca sampai berkali kali sangking sukanya. Namun di kehidupan ini aku hanya figuran biasa yang mungkin hanya akan sekedar le...