twenty

28 20 36
                                    

°°°
Happy reading
°°°

Jarum jam sudah menunjukan pukul 02.15, namun Angel masih setia duduk di meja belajarnya. Ucapan Leon sewaktu mengantarnya pulang masih mengitari kepalanya. Dan itu membuatnya sulit tidur.

"Ada satu waktu dimana gue merasa seneng dan sedih secara bersamaan. Dan waktu itu ada pada saat dimana Lo tahu kalau Kevin lebih milih Laura dari pada Lo pacarnya, itu yang bikin gue merasa seneng. Untuk sedihnya, Lo ninggalin gue gitu aja, hujan hujanan sendirian,"

"Kenapa bikin Lo seneng?"

"Emang harus frontal banget yah?"

"Terserah,"

"Gue udah lama suka sama Lo, gue seneng Lo udah nggak ada hubungan lagi sama Kevin dan gue juga seneng saat Lo bilang kalau Lo butuh bantuan gue untuk lupain masa lalu Lo,"

"Lo mau kan, ijinin gue jadi masa depan Lo?"

"Maksudnya?"

"L-lo mau jadi pacar gue?"

Angel menggelengkan kepalanya cepat untuk sekedar membuang ingatan itu sekejap. Leon sudah bertindak sangat jauh untuk ini. Angel memang pernah bilang jika dia ingin Leon membantunya melupakan masa lalu, tapi bukan berarti Leon harus menjadi masa depannya. Dia sudah menyalahkan arti kata katanya.

Cewek itu kini sedang bingung harus berbuat apa. Apa dia harus menerimanya apa justru menolaknya? Angel sudah menganggap Leon sebagai kakaknya dan tidak lebih dari itu.

***

"Kabur!?" Tanya seorang pria paruh baya dengan nada tinggi. "Kamu tahu, kalau kunci itu membuka peti yang selama ini kita sembunyikan dengan cuma cuma, bukan cuman saya yang hancur tapi kamu juga ikut!" Lanjutnya.

Pria paruh baya itu mendekat pada seorang perempuan yang tengah berdiri tak jauh dari pintu, "Cari dia sampai ketemu sekarang!" Perempuan itu hanya mengangguk mengikuti perintah dari atasannya.

Dia keluar ruangan, berjalan dengan langkah sedikit cepat dengan tangan yang memegang ponsel. "Cari dia terus sampai ketemu, tapi ingat jangan sampai dia luka!" Perintahnya pada anak buahnya melalui telepon.

Di tempat lain, Atasya tengah berlari di pinggir jalan yang sepi. Kali ini dia benar benar takut. Air matanya pun sudah menetes deras di pipinya. Dia sesekali menengok ke belakang, melihat apakah ada yang mengejarnya.

Dia bingung kemana harus pergi. Bersembunyi dari Ayahnya yang selalu mengurungnya. Sudah cukup dia diasingkan di negara lain. Dia hanya ingin hidup bebas seperti orang pada umumnya yang menikmati hidup tanpa adanya tekanan dari siapapun. Dia juga ingin sekolah seperti anak anak lain. Pergi belanja bersama teman teman. Saat ini dia hanya ingin diberi satu kali kesempatan untuk selalu tersenyum bahagia. Tanpa adanya air mata tangisan yang selalu turun tanpa hentinya.

Atasya berhenti sejenak untuk mengatur napasnya. Saat dia tengah mengedarkan pandangannya, matanya berhenti pada sebuah tempat yang masih ada orang di sana. Bar. Tempat itu yang dia lihat.

Tanpa berpikir, dia lari menyebrangi jalan raya yang sepi lalu dia masuk ke tempat itu. Kepalanya masih sesekali menengok ke belakang. Karena itu, dia hampir menabrak kursi di sana. Langkah yang tidak beraturan membuatnya jatuh. Dia meringis kesakitan. Dia baru tersadar jika lututnya terluka hingga mengeluarkan cairan bewarna merah. Luka itu pasti dia dapat saat melompat dari balkon lantai dua rumahnya.

"Gue harus kuat, gue nggak boleh ketangkap sama anak buahnya orang berengsek itu," ucapnya menguatkan diri. Dia mencoba untuk berdiri, namun dia hampir terjatuh lagi.

"Lo nggak apa apa?" Tanya seorang laki laki yang membantu menopang tubuhnya. Laki laki itu juga membantunya untuk duduk.

Laki laki itu masih berdiri, menatap perempuan yang berada di depannya dengan heran. "Lo bukan orang gila kan?" Tanyanya tanpa berpikir panjang. Mendapat pertanyaan seperti itu, Atasya sarkas mendongak menatap wajah orang yang berada di depannya itu.

"Kayaknya Lo deh yang nggak waras!"

"Mikir dong! Lo kira Lo pantes melontarkan pertanyaan kayak gitu?"

Laki laki itu hanya mengernyitkan dahinya mendengar jawaban perempuan yang tengah berhadapan dengannya. "Ya gue cuman heran aja, Lo cewek pagi pagi gini ke bar, nangis, nggak pake sendal, terus lutut Lo luka gitu,"

"Apa gue sekacau itu, sampai Lo nyebut gue orang gila?" Lagi lagi air matanya keluar. Jujur, sebenarnya dia satu pemikiran dengan laki laki itu, dia memang sekarang lebih mirip dengan orang gila.

Laki laki itu pergi dari hadapannya yang masih menunduk menangis. Setelah beberapa menit, dia merasa sedikit tenang. Dia mengusap sisa air matanya lalu mendongak. Matanya membulat saat melihat orang di luar tempat itu, orang yang sekilas dia kenal.

Dia langsung berdiri, namun tanpa sengaja dia menabrak laki laki tadi. Laki laki itu kembali dengan membawa nampan berisi gelas air putih dan kotak P3K di sampingnya. Namun benda itu jatuh ke lantai karena dia tidak sengaja menabraknya.

Dan hal itu membuat orang yang berada di sana menoleh. Orang yang Atasya kenal sebagai anak buah Asisten Ayahnya itu juga menoleh. Saat dia sadar jika orang itu melihatnya. Atasya langsung bersembunyi dibalik badan laki laki disampingnya itu.

"Tolongin gue, gue nggak mau pulang,"

Laki laki itu heran dengan sikap perempuan yang tengah bersembunyi di balik badannya itu. Dia mengedarkan pandangannya, dan melihat orang yang tengah berjalan menghampirinya.

"Atasya?" Panggil laki laki itu.

"Lo bener bener selalu nyusahin gue, sekarang ikut gue pulang!" Tanpa memperdulikan orang yang berada di depannya, dengan paksa dia menarik tangan Atasya. Dia semakin memperkuat genggamannya saat Atasya mencoba memberontak.

"Lo jangan kasar ya sama cewek!"

"Gue nggak mau kasar sama orang yang nggak gue kenal, jadi Lo nggak usah ikut campur!"

Tanpa basa basi, laki laki itu menendang bagian perut orang yang tengah menarik paksa cewek yang hendak dia tolong sampai tersungkur ke lantai.

"Nama Lo siapa?" Tanya Atasya dengan lirih.

Mendengar itu, dia mengejapkan matanya, tidak habis pikir, "Arlen," jawabnya.

Laki laki itu berdiri dengan tangan yang masih memegangi perutnya. Saat dia hendak maju untuk membalas, suara Atasya menghentikan langkahnya.

"Dia pacar gue!"

Arlen yang tadi tengah bersiap siap menghindari pukulan laki laki itu pun menoleh pada cewek yang mengeluarkan suara itu.

"Kalau Lo sakiti dia, gue bakal kasih tahu ayah! Dan gue bakal menjamin kalau Lo nggak bakal hidup lama lagi!" Ancamnya tanpa rasa takut.

Atasya maju, mempertipis jaraknya dengan laki laki itu, "Bilang sama ayah, gue nggak akan pulang ke rumah!" Lanjutnya.

Arlen yang tidak tahu apa apa hanya diam saat Atasya menarik tangannya, membawanya untuk pergi.

"Gue nggak percaya kalo dia pacar Lo," ucapan itu membuat langkah keduanya terhenti.

"Lo tahu apa?"

Laki laki itu tersenyum smirk, "Lo baru satu bulan di Jakarta. Setahu gue juga Lo nggak punya hp, terus gimana caranya Lo dengan secepat itu punya pacar?"

"Lo ngeraguin gue?" Tanpa aba aba, Atasya dengan beraninya mencium bibir laki laki yang dia baru kenal itu, laki laki yang diketahui bernama Arlen itu. Laki laki itu membulatkan matanya melihat apa yang anak bosnya itu lakukan. Dia tidak menyangka jika Atasya tidak sepolos yang dia tahu.

°°°
SEEYOUNEXT
°°°


Look Back [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang