S e v e n t e e n [Side Story]

184 27 2
                                    

Angin sore yang berhembus melalui celah pintu balkon yang terbuka, tidak membuat Sean beranjak dari posisinya. Pria itu masih terdiam di tempatnya, menikmati pemandangan matahari yang akan tenggelam dan juga sebatang rokok di tangan kiri. Ia kemudian menghisap rokoknya, mengembuskan asapnya secara perlahan, terus seperti itu sampai di rokok yang keempat. Jika saja tidak ada ketukan pada pintu kamarnya dan disusul oleh suara Ibunya, mungkin Sean tidak akan berhenti merokok sampai semua rokoknya habis.

Akhirnya setelah mematikan rokoknya, Sean pun berjalan ke arah pintu kamar untuk membukanya. Wajah kesal Ibunya langsung ia temukan begitu pintu terbuka. "Ada apa, Ma?"

"Sebenarnya apa yang sedang kau lakukan di kamar? Kau tidak dengar Mama memanggilmu berkali-kali tadi?!" protes Yolanda dengan alis mengkerut. "Ayo turun, kita makan bersama."

Sean lantas menghela nafas pelan, merasa agak risih melihat Ibunya yang tiba-tiba mengajaknya makan bersama. Padahal Sean tahu sekali, Yolanda tidak akan melakukan hal itu jika tidak sedang berkumpul bersama keluarga.

"Duluan saja, Ma. Aku belum terlalu lapar,"

"Tidak ada penolakan! Mama tidak mau tahu, pokoknya kau harus turun. Lagi pula di bawah ada Grace dan kedua orang tuanya."

Mendengarnya, Sean langsung mengerti alasan kenapa Ibunya memaksanya untuk turun, ini pasti berhubungan dengan perjodohan konyol bersama Grace. Astaga! Padahal Sean sudah berusaha menolak. Ini jugalah alasan kenapa Sean malas untuk menginap di rumah Ibunya. Tapi karena ia baru saja keluar dari rumah sakit, Sean terpaksa harus menginap di sini karena tidak ada yang akan menjaga Sean jika di apartemen sendirian.

"Ma, aku tidak bisa menerima Grace." jawab Sean, entah untuk yang keberapa kalinya. "Aku sama sekali tidak mencintainya!"

Yolanda lantas memutar matanya malas. "Ayolah. Ini hanya makan malam, bukan acara pernikahan."

"Dan aku tetap tidak mau, Ma." ucap Sean sebelum menutup kembali pintu kamarnya, mengabaikan panggilan kesal Yolanda dari luar kamar.

Sean kemudian memilih untuk merebahkan tubuhnya di ranjang, menatap langit-langit kamarnya dengan pikiran berkelana. Ucapan Lisa waktu itu masih terus terbayang dikepala Sean, juga tatapan bekaca-kaca yang ditunjukkan oleh Lisa waktu itu masih menghantui Sean, membuatnya semakin merasa bersalah.

Kemudian benak Sean bertanya-tanya, apa yang tengah dilakukan Lisa sekarang? Apa wanita itu menikmati harinya dengan baik?

Sean lantas menghela nafas panjang sebelum mengambil ponselnya yang ia letakkan di samping tempat tidur. Ia membuka pola kunci ponselnya, lalu membuka menu pesan untuk memeriksa pesan yang dikirimkan oleh orang suruhannya yang ia tugaskan untuk mengikuti Lisa, sekaligus menjaga wanita itu dari jauh.

Ternyata hari ini ada satu foto yang dikirim, di mana menunjukkan Lisa tengah bermain di taman bersama anak-anak kecil. Tawanya terlihat bahagia sekali, seakan tidak memiliki beban.

Tapi meski begitu, Sean tahu jika Lisa menyembunyikan perasaannya jauh di dalam lubuk hatinya. Hati Sean terasa teremas ketika mengingat kembali jika dulu Lisa hampir menjadi seorang Ibu yang sempurna seperti impiannya waktu itu, namun sayangnya Lisa harus membuang jauh mimpinya itu karena keegoisan Sean.

Tanpa sadar Sean sudah meneteskan air mata, bersama dadanya yang terasa sesak ketika membayangkan bagaimana sakitnya Lisa ketika kehilangan bayinya.

"Maafkan aku. Ini semua salahku." Sean mengepalkan kedua tangannya dengan erat, tak peduli meski buku-buku jarinya sudah memutih.

💕💕💕

Dengan tubuh yang sudah lelah dan berkeringat setelah bermain bersama anak-anak yang di rawat di rumah sakit karena trauma, Lisa kemudian memutuskan untuk duduk di bangku taman sambil sesekali mengawasi anak-anak lucu itu agar tetap aman.

Lisa lantas mengulas senyum tulusnya, ikut bahagia ketika anak-anak itu tertawa dengan lepas. Mereka terus berlarian kesana-kemari tanpa kenal lelah. Meski sudah terjatuh beberapa kali, mereka tetap berdiri dan kembali berlarian.

Melihat itu membuat Lisa jadi mengingat anaknya. Jika saja Azura masih hidup, gadis kecilnya itu pasti akan seumuran dengan anak-anak itu. Tapi sepertinya Tuhan lebih menyayangi putrinya.

"Hai, Lis."

Lisa lantas tersadar, menoleh cepat pada Davine yang baru saja datang lalu duduk di sampingnya. Pria itu kemudian memberikan sebotol air minum pada Lisa. "Minumlah. Kau pasti lelah setelah bermain bersama mereka."

"Terima kasih, Dave." ucap Lisa lalu meminum air mineral itu.

"Bagaimana perasaanmu setelah bermain bersama mereka?" tanya Davian setelah Lisa selesai minum.

"Luar biasa. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku bisa sebahagia ini. Ya meskipun awalnya agak sedikit susah mendekati mereka."

"Kau masih bersedih?"

Lisa menggeleng namun beberapa saat kemudian ia mengangguk. "Aku tidak tahu. Tapi ketika mengingat Azura lagi, aku sudah bisa menerimanya dan tidak sesedih dulu." Lisa tersenyum tipis sebelum menghela nafas panjang. "Apa yang aku lakukan ini benar? Bagaimana jika Azura sedih karena aku melupakannya?"

"Azura pasti akan mengerti, dia juga tidak ingin melihat Ibunya terus-terusan bersedih."

"Benarkah?"

Davian mengangguk pelan dengan senyum tipisnya. "Iya. Kau sudah melakukan yang terbaik untuknya. Jadi jangan terus menyalahkan dirimu terus. Ini saatnya kau melangkah maju, karena di depan sana masih banyak hal yang harus kau coba."

Perlahan Lisa pun mengangkat pandangan, mendongak menatap langit biru di atasnya lalu berbicara dalam hati, berharap jika ucapannya itu akan di dengar oleh putrinya.

"Nak, sampai kapanpun kau akan tetap menjadi putri kesayangan Mama. Mama juga tidak akan melupakanmu begitu saja, karena bagi Mama, kau adalah penerang bagi Mama, penolong saat Mama merasa kesepian. Mama menyayangi Azura, selalu, jadi bantu Mama untuk terus semangat dalam menjalani hidup ini."

💞💞💞

Mimpi buruk itu lagi-lagi menghampiri Sean, membuatnya selalu terbangun dengan tubuh berkeringat dan dada yang terasa nyeri. Dengan nafas yang terengah-engah, Sean lantas menatap jam di kamarnya. Dan ternyata masih menunjukkan pukul 3 pagi.

Sean lantas mengusap wajahnya kasar sebelum bergegas turun dari ranjang untuk mengambil dompet dan kunci mobil. Setelah itu memilih keluar tanpa menimbulkan suara.

Perlahan, Sean kemudian mulai menjalankan mobilnya menuju suatu tempat. Sebelum sampai ke tempat tujuan, Sean menyempatkan diri untuk mampir ke toko bunga dan membeli satu buket bunga tulip.

Tak berapa lama kemudian, Sean pun sampai. Ia terdiam beberapa saat di dalam mobilnya, menatap lurus pada rumah Lisa yang dijaga oleh beberapa penjaga.

Setelah meyakinkan diri, Sean lantas keluar dari mobil, berjalan mendekati rumah Lisa. Para penjaga langsung menghentikan langkah Sean, menanyakan apa urusan Sean di sana.

Namun Sean hanya memberikan buket bunga tulip tadi kepada salah satu penjaga dan berpesan untuk memberikan bunga itu pada Lisa. Kemudian ia pun kembali ke mobilnya dan bergegas pergi sebelum Lisa keluar.

To be continue...

Bunga Tulip : Bunga ini memiliki lambang atau makna sebagai ungkapan maaf, menyatakan cinta kasih kepada pasangan, serta empati atau kepedulian pada sesama.

You're The OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang