Hal pertama yang bisa Sean ingat ketika membuka matanya adalah saat ia melompat dari mobilnya yang akan masuk jurang. Ia lantas bernafas lega karena Tuhan masih berbaik hati membuatnya tetap hidup.
Ia benar-benar tidak tahu apa yang membuat rem mobilnya tidak berfungsi. Dan ia beruntung bisa keluar dari mobil tepat waktu—meski harus mengalami patah tangan dan juga cedera kepala. Andai saja Sean keluar dari mobil lambat sedikit saja, bisa dipastikan jika ia akan ikut hancur bersama mobilnya.
Sean meringis saat membayangkan hal itu. Ia hendak melepas selang oksigen dihidungnya, tapi seseorang menghentikannya. Ia pun menoleh, menemukan seorang dokter laki-laki berdiri disamping ranjangnya. Tunggu! Sejak kapan dokter itu berdiri disana?
"Anda bisa mendengarku, Tuan?" Tanya dokter itu.
Sean hendak menjawab, tapi tenggorokannya terasa sakit. Akhirnya ia hanya bisa mengangguk untuk menjawab pertanyaan dokter bernama Ryan itu.
"Apa selang oksigennya mengganggu, Anda?"
Lagi, Sean menganggukan kepalanya. Hidungnya benar-benar tidak terasa nyaman saat harus memakai benda itu.
"Saya akan melepasnya," Dokter Ryan memberitahu. Perlahan ia memerintahkan seorang perawat yang baru saja tiba, untuk melepas selang oksigen dihidung Sean.
Ketika perawat melepas selang oksigennya, sesekali Sean menatap dokter Ryan. Sedikit bingung karena pria itu yang terus menatap Sean secara terang-terangan.
"Suster Shally, kau bisa keluar sekarang."
"Baik, Dok." Shally membungkuk sopan sebelum berlalu keluar dan menutup pintu.
Sean yang sebelumnya menatap tempat suster Shally menghilang, kini beralih menatap dokter Ryan. Pria itu perlahan mendekat, berdiri disamping ranjangnya dengan tangan bersedekap.
"Jadi Sean, saat ini aku sedang tidak ingin berbasa-basi."
Sean mengangkat satu alisnya. "Ada...yang ingin kau katakan?" Tanya Sean terbata, ia masih agak kesusahan untuk berbicara ketika penyangga leher menghalanginya. Aish sialan!
"Ada. Mungkin bisa dimulai dengan nama Lisa?"
"Li...sa?" Sialan! Bagaimana Ryan bisa mengenal Lisa? Dan kenapa pula dia harus bertanya hal itu disaat ia baru saja bangun dari sekarat?
"Kau mengenalnya kan?"
Tentu saja! Lagi pula Lisa adalah satu-satunya wanita yang mengaku hamil anaknya ketika mereka memutuskan untuk menjalin hubungan. Jadi bagaimana bisa ia melupakan nama itu?
"Aku beritahu kau, Sean." Ryan menarik kursi dan duduk disana, menatap lurus pada Sean. "Lisa adalah orang yang sudah membantumu selamat dari maut."
Sean membelalakan matanya. "Apa?! Wanita itu? Bagaimana bisa?" Sial! Kepalanya langsung terasa pusing saat ia memaksa untuk terus bicara.
"Kau tidak perlu menjawab apapun, karena kondisimu belum terlalu baik. Aku hanya ingin memberitahumu untuk berhenti menyakiti Lisa. Dia sudah berbaik hati mendonorkan darahnya, meski ia tahu seberapa buruknya dirimu." Ryan mengepalkan tangan ketika mengingat cerita dari Jason tentang Sean beberapa hari yang lalu. "Jika kau tidak menyukainya, cukup jauhi dia. Jangan buat dia semakin terluka karena harus menatap wajahmu yang benar-benar mirip Azura."
"Azura?" Ucap Sean pelan.
"Anak kalian. Ah ralat! Maksudku anak Lisa." Ryan tersenyum miring. "Aku harap kau tidak lagi menemui Lisa. Kau tidak tahu seberapa keras usahanya untuk bisa berada dititik ini." Ia lantas berdiri, menepuk jas dokternya dari debu tak kasat mata. "Lisa wanita yang rapuh. Sekali kau melukainya, butuh waktu lama baginya untuk sembuh. Jadi aku harap kau mau menjauhinya. Itu pun jika kau masih punya hati."
KAMU SEDANG MEMBACA
You're The One
RomansaSetiap hubungan pasti ada cerita pedih mau pun senang dibaliknya, tergantung dengan bagaimana cara kalian menyikapinya. Dan ketika cinta mulai diuji, sanggupkah kalian melewati ujian itu? Bahkan disaat paling sakit sekalipun?