Coco Chanel is a chocolate?

160 52 0
                                    

Sudah hampir lima belas menit Ai menunggu orang tuanya untuk makan malam pada sofa ruang keluarga. Hari ini Papa pulang setelah empat hari tak terlihat di rumah. Papa bekerja sebagai manajer pemasaran di salah satu perusahan mobil terkenal. Setahun yang lalu dipindahkan ke Bandung, karena tidak ingin mengganggu pekerjaan Mama sebagai pegawai Bank, Papa memutuskan untuk bolak-balik Bandung-Jakarta sesempat mungkin.

Pintu kamar orang tuanya terbuka. Ai refleks berdiri, menyambut Papa yang terlihat lebih dulu. "Pa, makan malamnya udah siap."

Papa tersenyum lebar, meskipun wajahnya terlihat tidak senang dan lelah. Ia mendekat, mengusap rambut, dan mencium ujung kepala putrinya. "Papa ada pertemuan penting. Malam ini kamu makan sama Mama aja, ya."

Ai mencoba mengerti, dengan terpaksa menganggukkan kepala, setelah itu melihat punggung Papa berlalu dan menghilang di balik pintu. Cewek itu berjalan menuju kamar tidur orang tuanya, berniat memanggil Mama, tapi kamar tersebut kosong.

Tiba-tiba pintu ruang kerja yang tak jauh dari tempatnya berdiri terbuka. Mama keluar dari sana, terlihat rapi dengan kemeja garis kuning dan celana hitam, tas kantor sudah tersampir pada bahu kanannya. Sudah pasti Mama akan mengikuti jejak Papa malam ini.

"Mama harus balik ke kantor. Kerjaan numpuk." Mama mencium pipi kiri Ai, lalu tersenyum masam sebagai permintaan maaf.

"Makan malam udah siap. Mama nggak mau makan dulu?"

"Mama buru-buru." Mama memperhatikan jam tangannya. "Kamu makan sama Bik Nana. Mama pergi dulu."

Ai membuang napas keras tatkala Mama menghilang seperti Papa. Ia berjalan menuju meja makan tak berselera, padahal Bik Nana sudah memasak banyak makanan malam ini.

"Bik!" panggil Ai sesaat setelah duduk.

Bik Nana muncul dari arah dapur. "Lho, kenapa Papa sama Mamanya nggak dipanggil makan? Nanti makanannya keburu dingin."

"Mereka ada kerjaan, Bik. Malam ini nggak bisa makan di rumah. Bibik duduk deh, temanin aku makan."

Tanpa protes Bik Nana menarik kursi di samping majikan mudanya.

Sejak kapan?

Ai tahu orang tuanya sedang dirundung masalah. Beberapa bulan ini semuanya tampak lebih jelas, papa sudah jarang di rumah, padahal awalnya Papa selalu mengusahakan pulang dua hari sekali, bahkan setiap akhir pekan mengajaknya dan Mama liburan.

Sudah lama juga rumah kehilangan aroma cokelat dari brownis buatan Mama, kue kesukaan Papa. Dulu hampir setiap malam Mama selalu menyempatkan diri untuk membuatnya, meskipun lelah selepas bekerja. Sekarang Ai lupa kapan terakhir mendengar bunyi ting dari oven Mama.

Ai selalu rindu dengan suasana meja makan yang ramai seperti dulu. Saat Papa masih duduk di kursi kebesarannya pada ujung meja, sembari menceritakan hal-hal lucu yang dialaminya di kantor. Mama yang duduk di samping Papa, berhadapan dengannya, menjadi pendengar setia.

Namun, semuanya tinggal cerita masa lalu. Ai lebih banyak ditemani Bik Nana dibanding orang tuanya. Mereka saling menghindar satu sama lain dengan alasan pekerjaan. Tanpa tahu apa yang sudah mereka tinggalkan untuknya.

Hanya saja sebagai anak Ai tidak tahu harus melakukan apa, tidak tahu pemikiran orang dewasa. Mungkin saja sekarang terlihat tidak baik, tapi sebenarnya mereka baik-baik saja, hanya memang pekerjaan yang sedang menumpuk. Dan ia sangat berharap itu benar-benar terjadi.

"Non, masih mau tambah?"

"Nggak, Bik. Udah kenyang."

"Makanan sebanyak ini mau diapain, Non?" Bik Nana menatap sedih makanan yang tersisa banyak.

The Stupid Duckling ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang