It's Okay or Maybe Not

125 33 0
                                    

Ai mengikuti langkah Fiza menyusuri paving block taman tanpa suara. Minggu siang Fiza menjemputnya di rumah, menjadi tim hore untuk Deski dan sang kekasih pada lomba akustik yang diadakan di taman kota. Tiba-tiba kaki Ai bergerak ke arah lain, berbeda dengan Fiza yang berjalan lurus.

"Ke mana?" Fiza menarik ujung totebag Ai.

"Deski tampilnya masih lama nggak? Gue pengin ke sana dulu."

Fiza mengikuti arah pandangan Ai. Ada beberapa anak yang sedang menggambar, pantas cewek itu tertarik. "Nggak tahu, sih. Lo ke sana aja dulu. Entar gue infoin."

Ai mengangguk kemudian meneruskan langkah ke pelukis-pelukis bocah.

"Bang, satu gambar berapa?"

"Satu gambar 10 ribu. Pilih aja sesuka hati. Kalau udah dapat gambar, tinggal ke sini biar Abang kasih warna."

Ai mengeluarkan dua lembar lima ribu dari dalam tas dan memberikan pada si abang. Matanya langsung terpikat pada gambar angsa yang sedang berenang di kolam. Ia mengambil gambar tersebut, lalu meminta warna.

Di depan easel kecil terdapat kursi plastik bundar, tapi karena postur tubuhnya lebih tinggi, jadi Ai memutuskan untuk bersila pada lantai kasar.

"Lo lucu banget," ledek Aura, mengangkat ponselnya dan menekan tombol capture. Ia mendekat, duduk di kursi yang terabaikan sembari memeluk lutut. "Gue baru pertama kali lihat lo melukis. Dan lucu."

Ai tertawa, kuasnya sudah mulai mewarnai kolam. Bagaimana tidak lucu kalau easel di depannya berukuran mungil. "Gue lebih keren kalau benar-benar melukis," ungkapnya sombong. "Tapi waktu kecil gue punya kayak gini."

Mata besar Aura melebar mendengarnya. "Lo udah melukis waktu kecil?"

"Melukis belum, sih. Masih gambar aja. Gimana Deski?"

"Urutan tampilnya masih lama. Nanti bakal dikasih info sama Fiza." Aura berdecak takjub ketika Ai mewarnai kolam seperti beriak. Kalau ia mewarnai bagian itu, jelas hanya warna biru saja. "Sejak kapan lo melukis?"

"Waktu SMP. Pas guru seni tahu bakat gue, dia langsung bimbing. Dan akhirnya gue melukis di kanvas. Setelah itu gue rajin ikutan lomba."

"Lo keren." Aura bertepuk tangan."Jadi iri."

Ai menatap Aura dengan alis terangkat. "Nggak salah? Lo, kan, lebih segala-galanya." Ia mendesah, lalu kembali mewarnai gambar. "Walaupun bisa melukis, masih ada juga bilang gue bodoh karena lemah dipelajaran."

Aura mendengkus kesal. "Kayak mereka bisa melukis aja."

"Padahal gue udah berusaha keras, lho. Tapi, yaaa ... gini-gini aja. Mungkin ada masalah di otak gue."

Aura menyelipkan rambut lurusnya ke belakang telinga, membasahi bibir berlipstiknya, lalu berkata, "Lo pernah dengar tentang otak kanan dan kiri?"

"Yup." Ai mengangguk, membuat kucirannya ikut bergerak. "Tapi, gue nggak ngerti," lanjutnya meringis.

"Itu teori dari Roger Sperry. Otak besar kita punya belahan kiri sama kanan, kan? Semoga lo ingat pelajaran Biologi. Kalau lo nggak ingat ... gue maklum." Aura cengengesan.

"Anggap aja gue ingat. Terus?" sahut Ai meminta lebih, meskipun tangannya masih sibuk memberi warna.

Cewek tinggi itu berdeham sebelum melanjutkan. "Teori ini menyimpulkan kalo otak kiri itu lebih berhubungan dengan logika dan rasio manusia. Orang bilang sih pusatnya Matematika. Biasa dibilang IQ atau Intelligence Quotient. Terus kalau otak kanan lebih ke sosialisasi, komunikasi, dan interaksi. Di bagian ini juga semua jenis kreatif berlangsung. Kayak lo yang bisa melukis. Biasanya dibilang sebagai Emotional Qoutient or EQ. Ngerti nggak?"

The Stupid Duckling ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang