Try to be Ella, Not Cruella

142 44 2
                                    

Ai menarik garis vertikal pada kertas gambar yang berukuran A4, menggunakan pensil kode H. Setelah itu membuat oval pada ujungnya yang akan menjadi bagian kepala dari croquis.

Hari ini cewek itu memulai proyek mendesain gaun ulang tahun Vanya. Semalam Mbak Salsa dan Mbak Tina datang ke rumahnya untuk membicarakan prihal itu dengan jelas. Mereka juga membawa Vanya, gadis kecil yang akan berumur tujuh tahun dua minggu lagi.

Dari hasil pembicaraan semalam, Vanya menyukai sesuatu berbau Frozen. Bahkan Vanya sempat menyanyikan soundtrak fenomenal film itu ketika mendengar ibunya menyebutkannya.

"Lo ngapain? Nggak ke kantin?" Balila baru saja kembali ke tempat duduknya, setelah beberapa menit yang lalu ke perpustakaan untuk mengembalikan buku.

"Nggak," jawabnya masih menekuri kertas gambar.

Lila mencondongkan tubuh, ingin melihat jelas kesibukan teman sebangkunya. "Itu apan?" tanyanya, penasaran dengan gambar oval, garis, dan kotak.

"Croquis."

"Tubuh model, ya?" Lila memundurkan tubuhnya agar Ai bisa bekerja dengan baik. "Tapi ... lo ngedesain baju sekarang?!"

Ai menghentikan proses sketsanya, menyandarkan punggung. "Gue baru coba. Ada yang minta tolong, anaknya mau ulang tahun mau dibuatin gaun. Ibunya percaya sama kemampuan gue. Kenapa nggak gue coba. Iya, kan?"

"Wih ...." Lila bertepuk tangan dan mengangkat dua jempolnya. "Keren. Ini bisa jadi bisnis yang menggiurkan. Lo bakal kaya nanti."

Ai tertawa, menampar rambut lurus sebahu Lila pelan. "Apaan, baru juga mulai."

"Kalo lo udah memulai sesuatu artinya lo udah usaha. Tinggal lihat akhirnya aja gimana. Lo nyerah apa kagak."

Ai mengangguk-angguk mendengar quote dari sahabat kutu novelnya. Selama ini Lila berfungsi seperti itu, menjadi pemberi nasihat, meskipun tak berpengaruh sama sekali untuk hidupnya.

"Lo lanjut deh. Gue juga mau baca novel." Lila mengeluarkan novel dari dalam tasnya.

Saat itu juga, Ai kembali berkutat dengan kertas gambarnya membentuk torso dan pundak, setelah itu leher dan membuat wajah.

Di sela-sela membacanya, Lila diam-diam memperhatikan. Mereka sudah duduk bersama sejak kelas XI. Lila harus mengakui bagaimana lemahnya Ai dalam hal perhitungan, nilai-nilanya selalu anjlok di pelajaran tersebut. Namun, bukan berarti Ai bodoh, manusia punya minat dan kemampuan masing-masing, dan bakatnya tidak ada di area itu. Areanya adalah seni.

Lila suka melihat Ai menggambar, sekaligus iri. Cewek itu terlihat serius dan bahagia, karena melakukannya tanpa beban dan paksaan, prestasinya juga lumayan. Sayangnya, ada beberapa guru yang tidak melihat hal tersebut, mereka menuntut Ai bisa menguasai semua mata pelajaran.

Dan Lila tahu Ai sangat kesulitan. Kendatipun begitu, ia tahu kalau Ai tak pernah menyerah memperbaiki nilai-nilainya, meskipun kadang harus memohon pertolongan. Gadis itu selalu bilang gue nggak butuh nilai tinggi, La. Gue cuma berharap nilai gue bisa buat gue lulus SMA. Ya ... sahabatnya ini keren dengan kemampuannya sendiri, hanya saja belum sadar.

"Gue ke toilet dulu." Ai berdiri dan berjalan keluar.

Bel masuk belum berdering, koridor dan lapangan masih penuh dengan para siswa, bahkan toilet. Ai harus memutar menuju toilet yang agak jauh, karena toilet terdekat penuh dengan siswi yang berganti pakaian olahraga ke seragam.

The Stupid Duckling ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang