Ai segera membuka sabuk pengaman tatkala mobil berhenti di depan rumah. "Makasih untuk hari ini, Pa."
Hari ini adalah lomba melukis Ai. Sudah menjadi tradisi, jikalau lomba diadakan di luar jam kerja atau hari libur, orang tuanya akan hadir memberi dukungan, dan eksistensi Papa hari ini di luar ekspektasi. Dua hari setelah kejadian itu, ia belum pernah mengobrol langsung dengan Papa, hanya via telepon, itu pun meminta izin untuk kembali ke Bandung dikarenakan pekerjaan mendadak.
Saat perlombaan akan dimulai, Papa melambai dari kursi penonton. Kebahagian dan kesedihan menjadi satu di hati Ai. Ia bahagia lantaran kedatangan Papa yang tiba-tiba ketika Mama tidak bisa hadir. Namun, ada bagian hatinya yang masih kecewa, hingga sebuah pemikiran asal memenuhi benaknya, mungkin ini menjadi kali terakhir, sebab setelah keduanya berpisah akan sulit mendapatkan momen indah seperti ini lagi.
Di tengah kekalutan, Ai berusaha berkonsentrasi pada lomba. Sudah terlalu banyak kekecewaan yang terjadi, dan ia tak mau menambah daftarnya. Gadis itu bertekad membuat orang tuanya bangga, seperti sebelum-sebelumnya.
"Papa minta maaf, Nak."
Ai bersandar pada jok, pandangannya lurus ke depan. Setelah beberapa menit berkendara dalam hening, akhirnya Papa membuka suara. "Papa memang salah. Mama juga. Salah kalian karena terlalu cepat nyerah. Padahal aku yakin masih banyak hal yang bisa diperbaiki," ungkapnya lirih.
"Kami udah coba itu, tapi-"
"Iya, Mama udah bilang kayak gitu," potong Ai, menoleh menatap Papa lalu tersenyum masam. "Aku udah mulai belajar untuk terima ini, Pa. Tapi aku harap Papa nggak pernah berubah."
Sontak Papa menarik Ai ke dalam pelukan. "Sampai kapan pun, Papa tetap Papa kamu dan sebaliknya." Pria itu melepas pelukan setelah mencium ujung kepala Ai.
"Makasih sekali lagi udah datang buat dukung aku hari ini."
"Itu udah tugas Papa. Walaupun kami pisah, pasti akan tetap dukung kamu. Kami akan berusaha selalu ada untuk kamu."
Ai cemberut. "Kalo kalian masih bisa kompak gini, kenapa harus pisah?" tanyanya sarkastis.
Papa tersenyum maklum dan mengusap kepala Ai lembut. "Masalahnya ada pada kami, Sayang. Bukan sama kamu. Kami udah nggak cocok bersama, karena banyak pemikiran yang nggak sejalan."
Ai mengesah berat. Sekali lagi mencoba mengerti, tetapi sia-sia. Masalah orang tuanya sangat rumit, melebihi kerumitan pelajaran Matematika atau Fisika yang selalu membuat kepalanya nyaris berasap. Ia pasti akan mengerti pada waktunya. "Aku harap Papa selalu baik-baik aja di Bandung."
"Kamu juga sama Mamamu. Papa akan selalu coba sering-sering ke sini. Atau kamu yang ke Bandung jengukin Papa."
Ai mengangguk dan tersenyum kaku. Ada perasaan tidak yakin dengan perkataan Papa barusan. Masih berstatus suami saja Papa sudah jarang pulang, apalagi tanpa predikat itu. Ia berusaha mempercayai, barangkali bisa lebih baik setelah berpisah. "Hari ini Papa langsung ke Bandung?"
"Papa mau nginap di hotel dulu. Besok pagi baru balik."
"Kenapa nggak di rumah aja? Kita punya kamar tamu."
"Kapan-kapan aja," tolak Papa.
Ai manggut-manggut, mungkin keduanya sedang dalam proses menenangkan diri, memutuskan tak bertemu hingga sidang perceraian. Entalah. "Kalo gitu aku turun, supaya Papa bisa cepat istirahat."
"Iya, Sayang." Papa kembali melakukan pelukan singkat.
"Hati-hati di jalan, Pa," kata Ai dan turun dari mobil, kemudian mengambil peralatannya di kursi penumpang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Stupid Duckling ✔
RomanceSejak kecil Aisha Ramadhani nggak peduli dengan julukan 'tidak pintar' dari teman-temannya. Hidupnya baik-baik saja meskipun nilainya hanya bertengger di level standar. Ia sudah pasrah dengan keadaan otaknya yang lemot saat berhadapan dengan mapel...