Besoknya Ai mengurung diri seharian di kamar, tak ingin bertemu orang tuanya. Satu-satunya yang diizinkan masuk adalah Bik Nana untuk membawakan makanan. Orang sakit hati butuh energi untuk kembali menangis, ia tidak ingin mati konyol hanya karena kelaparan akibat sakit hati.
Karena masalah orang tuanya, Ai tidak pusing tentang Yaka. Rasanya bodoh, memeras otak hingga sedemikian rupa hanya untuk orang yang tak menginginkannya. Sialnya, rasa suka belum menghilang sedikit pun.
"Creepy," ejek Ai ketika melihat pantulannya di cermin. Matanya seperti diberi pengembang kue, kantung matanya pun seperti dipenuhi air. Ia membuang napas berat, karena terlalu banyak menangis kepalanya jadi sakit. "Mandi Ai ... lo harus kembali nomal. Walaupun hidup lo udah nggak."
Setelah membersihkan diri Ai duduk di karpet. Ketika lelah menangis, ia memutuskan membuat origami angsa, berharap konsentrasi melipatnya bisa sedikit mengurangi kesedihan. Kendatipun tak berhasil, gadis itu tetap membentuk puluhan angsa warna-warni, disimpan di stoples kaca bekas kacang telur.
Pintu kamarnya diketuk. Ai memutar kepala ke pintu, menanti siapa yang masuk.
"Mama boleh masuk?"
Ai menghela napas, sudah waktunya bicara dengan tenang, berdiam meratapi tidak akan menyelesaikan masalah. Dalam kondisi ini semuanya pasti menderita, ia tak ingin egois. "Masuk, Ma."
Pintu terbuka. Mama tersenyum masam sebelum berjalan masuk dan duduk di depan Ai. "Ini buat apa?" tanyanya, menyentuh stoples.
"Iseng aja." Ai mengangkat wajah lalu tersenyum kecil."Papa udah pulang?"
Mama menggeleng. "Dia di hotel. Papamu mau pamit, tapi kamu nggak mau diganggu. Jadi, nunggu kamu baik."
Ai kembali menekuri lipatan kertas yang belum selesai, sembari memikirkan apa yang harus dikatakan selanjutnya. "Sejak kapan?" tanyanya setelah membiarkan jeda berlalu.
"Sudah cukup lama. Sebelum Papamu memutuskan pindah, kami udah sering memperdebatkan hal sepele. Kemudian pertengkaran itu tidak lagi tentang siapa yang sering menyiram bunga atau siapa yang paling lelah ketika pulang kantor. Sibuk adalah alasan untuk saling menghindar, supaya keributan nggak semakin besar. Kami tetap berjuang buat kamu, Mama kira masih ada sedikit harapan, tiba-tiba Papamu memutuskan pindah tanpa sepengetahuan Mama."
Ai mengangkat muka, kedua alisnya terangkat. "Papa bilang Mama udah setuju."
Mama tersenyum, kembali menggeleng. "Kami sempat bertengkar hebat setelah itu. Tapi berusaha supaya kamu nggak dengar kami saling teriak."
Ai tak menyangka jika orang tuanya hebat dalam berakting. Kecurigaan muncul setahun terakhir, ternyata selama ini keduanya berusaha keras untuk terlihat saling mencintai. Liburan keluarga, makan malam keluarga, dan acara nonton keluarga, semua itu hanyalah kedok. "Kenapa nggak pisah dari dulu aja?"
"Kami coba bertahan untuk kamu. Sayangnya nggak bisa memperbaiki keretakan yang ada. Kami merasa nyaman dengan kondisi nggak saling bicara." Mama mendengkus lembut, menyelipkan rambut panjang Ai ke belakang telinga. "Maafin kami yang gagal berjuang. Kamu ingat Mama pernah bilang kalau di kehidupan ini ada beberapa hal yang nggak bisa dipaksakan? Dan kami merasakan itu, Sayang."
Ai mengangguk, membuang napas perlahan. "Apa sekarang Mama bahagia?"
Seulas senyum lebar terbentuk di bibir Mama. Senyuman yang terlihat lebih tulus tanpa paksaan. "Mama nggak bisa bilang bahagia sepenuhnya. Perpisahan pasti membawa kesedihan. Tapi Mama merasa beban Mama sekarang lepas. Mama nggak perlu lagi terus-terusan bohong sama kamu kalau keluarga kita masih baik-baik aja. Mama tahu ini pasti berat buat kamu, tapi kamu harus percaya, ini yang terbaik untuk keluarga kita, karena kadang perpisahan menjadi sebuah solusi."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Stupid Duckling ✔
RomanceSejak kecil Aisha Ramadhani nggak peduli dengan julukan 'tidak pintar' dari teman-temannya. Hidupnya baik-baik saja meskipun nilainya hanya bertengger di level standar. Ia sudah pasrah dengan keadaan otaknya yang lemot saat berhadapan dengan mapel...