Sleeping Pills Vs Ice Cream

129 42 1
                                    

Pukul 18:00, Ai datang ke tempat bimbel dengan bantuan Mama. Mama juga sudah berjanji untuk menjemputnya setelah selesai. Ia tidak ingin merepotkan Bintang apalagi Yaka dalam hal seperti ini.

Ukuran ruangan kelas bimbelnya lumayan besar untuk lima belas siswa. Dindingnya didesain monokrom. Susunan meja berbentuk U, masing-masing lima di setiap sisi. Ai mengambil posisi di bagian kiri dekat jendela, pada meja tengah, tak ingin duduk paling depan, tidak juga paling belakang.

Bisa memilih tempat duduk merupakan kompensasi murid yang datang diawal ketika tahun pelajaran baru. Sewaktu SD Ai selalu berangkat sekolah lebih cepat agar bisa mendapatkan tempat duduk sesuai keinginan. Sedangkan Yaka dan Bintang tidak terlalu peduli dengan posisi tempat duduk. Namun, karena Yaka pintar, banyak teman kelas yang menyiapkan kursi untuknya. Mereka berebut agar bisa duduk bersama cowok itu, dan Yaka tinggal memilih. Seperti kata pepatah, orang pintar mah bebas.

Saat tahu Yaka lebih suka belajar daripada bermain, Ai lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Bintang. Kendatipun cara bicara cowok itu ketus dan blak-blakan, tapi Bintang selalu menuruti perintahnya.

Sebenarnya tidak terlalu banyak cerita yang Ai ingat tentang Yaka. Laki-laki itu bebas bermain hanya saat libur sekolah. Om Farzan—ayah Yaka, menanamkan disiplin keras pada putranya. Karena itu ia jarang mengajak Yaka, hanya menunggu kapan cowok itu bisa bergabung.

Ai mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Masuk ke WA dan membuka obrolannya bersama Bintang. Jemarinya mulai menari di atas papan huruf.

Gue udh di tmpt bimbel dong

Ai mengetuk-ngetuk belakang ponselnya, menunggu balasan. Satu per satu teman barunya masuk mengisi kursi kosong. Ia mengangguk dan menyapa seadanya untuk membalas sapaan. Ponselnya bergetar.

Sm siapa ke st?

Mama.

Plng?

Mama jg.

Hm ya udh bljr, Bego.

Ai tersenyum saat membaca pesan terakhir Bintang, lalu menyimpan ponselnya. Berharap bisa sesantai itu mengirim pesan pada Yaka.

"Lo Ai, kan?"

Ai mengangkat muka. Di sampingnya duduk cewek dengan rambut dikucir, bibirnya merah ranum karena lipgloss, begitu juga dengan pipi merona hasil polesan blush on. Mungkin sebagian teman sekolahnya seperti ini saat tidak memakai seragam. Jangan tanya bagaimana dirinya, ia bahkan tidak memiliki lipgloss.

Sebenarnya Ai tahu kalau mereka dari sekolah yang sama, tapi kalau sudah membahas masalah nama, jujur ia tak tahu. Walaupun tak sepopuler Citra, tapi Ai cukup dikenal di sekolah. 20% dari lomba melukis, 30% teman baik Yaka, dan 50% karena bocengan bersama Bintang setiap hari. Dan cewek di sebelahnya ini entah dari persentase yang mana.

Ai akhirnya mengangkat tangan. "Hai, gue Ai. Sori, gue nggak tahu nama lo. Makanya kenalan dari awal aja." Wajahnya meringis, merasa tak enak.

Cewek itu tertawa kecil, seraya mengangkat tangan untuk membalas. "Gue Fiza. Anak MIPA 2. Gue pernah suka sama Bintang, waktu kelas sebelas."

"Oh ... hmm." Ai menganggut-anggut, ternyata berasal dari persentase 50%.

"Tukaran WA, yuk. Di kelas ini cuma lo yang gue kenal. Jadi, bisa sharing kalau ada info penting," pinta Fiza yang sudah memegang ponselnya lebih dulu.

Ai kembali mengeluarkan ponsel dari tas. "Nomor lo berapa?" Ia mulai mengetik kala Fiza menyebutkan nomornya. "Ini WA gue." Lantas mengirimkan kata Hai pada obrolannya.

The Stupid Duckling ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang