Brains is Nothing Without Good looking

117 38 2
                                    

Hari ini Ai izin dari klub melukis.

Di sabtu pagi Ai mengobrak-abrik isi lemarinya. Fiza mengajaknya belajar bersama di café Sunflower dan mengajak beberapa temannya untuk bergabung. Awalnya ia ingin berpakaian seperti biasa, jeans dan kaus seadanya, tapi setelah mengingat cara berpakaian Fiza yang girly abis—temannya yang lain pasti tak jauh beda. Akhirnya, ia memutuskan mencari dress yang tersimpan entah di mana, saking lamanya tak terpakai.

Beberapa menit kemudian Ai siap dengan dress selutut warna merah tua polos. Rambutnya dikepang satu, dengan ikat rambut hitam bermanik angsa. Setelah itu turun ke lantai bawah untuk memakai sepatu.

Mama mendekat ketika Ai sedang memilih sepatu di rak penyimpanan di bawah tangga. "Mau ke mana? Biasanya pakaian kamu nggak begini ke sekolah."

Ai menarik flat shoes hitam berhiaskan pita merah kecil dan memakainya. "Aku mau jalan sama teman, Ma. Sekalian belajar." Ia memukul-mukul totebag hitam yang berisi beberapa buku.

"Tumben. Biasanya sama Lila belajarnya di sini."

"Ini sama teman bimbel."

"Ohh." Mama mengangguk. "Naik apa?"

"Ojol dong. Aku berangkat dulu." Ai mencium tangan dan sebelah pipi Mama, kemudian berjalan keluar menunggu ojol pesanannya datang.

Lime belas menit, Ai sudah sampai di café tersebut, langsung masuk untuk mencari Fiza.

"Ai, sini!" teriak Fiza sambil melambaikan tangan.

Ai berjalan ke sudut ruangan, tempat Fiza dan teman-temannya duduk berhadapan pada sofa besar bermotif bendera Inggris. Dari jarak dekat ia bisa melihat polesan make up tipis di wajah mereka.

"Lo kenal teman-teman gue?" tanya Fiza. Telunjuknya mengarah pada dua cewek yang duduk di hadapan mereka.

"Jujur gue ingat muka kalian." Ai mendesis, lantas menggeleng. "Sori. Tapi nama nggak."

Bukannya sombong, tapi Ai hanya ingat nama-nama yang pernah sekelas dengannya. Ditambah anak klub, biasa juga teman dekat Bintang atau Yaka. Lagi pula dirinya tidak pernah menjabat ketua OSIS, sekretaris OSIS, atau bendahara OSIS—tak usah jauh-jauh, menjadi anggota biasa OSIS pun tak pernah—jadi sepertinya tidak perlu mengingat semua nama teman sekolah.

Fiza tertawa singkat, memperkenalkan cewek dengan rambut bob berponi. "Deski." Melanjutkan ke cewek cantik berambut panjang. "Aura."

"Lo anak pemadu sorak yang sering dibuang-buang itu, kan?" tanya Ai polos. Ia ingat kalau Aura selalu membuat para cowok (yang suka lihat paha) di sekolahnya berteriak centil.

Aura mengangkat sebelah alisnya, lalu tersenyum—sedikit angkuh. "Itu namanya Flyer."

Ai mengangkat bahu ringan, tidak peduli. Dunia akan bersorak kalau ia tahu istilah itu. "Btw, kalian sekelas?"

"Iya. Gue sama Deski teman sebangku. Tapi, dari kelas satu kita bertiga udah sekelas," jelas Fiza.

Good ... ternyata mereka ini lebih pintar daripada gue. Adilkah? batin Ai. Setahunya anak MIPA 2 sebelas dua belas dengan kelas Yaka.

"Lo mau pesan apa? Kita udah pesan duluan."

Ai melirik pesanan Fiza cs di atas meja. Ada beberapa salad dan jus buah, identik dengan makanan pemuja diet. Tiba-tiba ia merasa ingin memesan nasi goreng plus kentang goreng dan thai tea. "Thai tea aja deh. Gue tadi udah sarapan," jawab Ai kalem, tidak mau dibilang rakus.

The Stupid Duckling ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang