"Sabtu lalu kalian udah belajar teknik arsir dan praktikin arsiran satu arah atau hatching bareng Pak Tara. So, hari ini kita bakal coba arsiran silang dan kalo masih ada waktu kita coba searah kontur. Apa masih perlu gue contohin?" Ai menunjuk papan tulis di belakangnya dengan jempol.
Beberapa junior berkata tidak, sisanya menggeleng. Tandanya Ai tak perlu menjelaskan ulang.
"Oke." Ai tersenyum lebar dan mengangkat dua jempol. "Tapi, pleaseee ya ... ini baru latihan, jadi objeknya yang biasa aja. Nggak perlu gambar idola kalian, supaya waktu kita cukup."
Tawa merebak mengisi ruangan. Setelah itu suara kasak-kusuk terdengar ketika para junior mulai menyiapkan perlengkapan menggambar. Mereka menyebar mencari posisi nyaman dan pencahayaan yang tepat.
Ai berjalan menuju loker mengambil alat-alat lukisnya, lalu melangkah ke meja dekat jendela. Meletakkan sketchbook di atas meja, disusul cat akrilik, palet, dan kuas. Ia juga meraih totebag-nya, mengeluarkan ponsel dan holder phone, kemudian mengatur letaknya.
Gadis itu duduk di kursi setelah memakai celemek kebanggaannya dan mencepol rambut asal. Mengotak-atik ponselnya, mencari beberapa video yang sudah disimpan lebih dulu untuk keperluan lomba.
Ai memutar salah satu video yang menurutnya mudah diikuti, lalu mengamati dengan cermat. "Oh iya, gue lupa." Ia menjeda video dan berderap ke loker mengambil selotip. Kembali ke meja untuk memberi selotip di sekeliling kertas gambarnya. "Udah. Mulai lagi."
"Siapkan warna dasar buat background. Oke ... warna yellow ochre, putih, sama hitam dikit." Ai memilih tube cat yang dibutuhkan dan mengeluarkan isinya di palet. Mencampurnya hingga mencapai warna yang dinginkan, lalu dengan kuas sapu mengaplikasikan pada kertas.
Setelah permukaan kertas tertutupi sempurna, Ai mengganti kuasnya untuk membuat sketsa, kali ini kuas kecil dengan ujung bulat. "Kata yang punya video nggak usah terlalu mirip, entar dibilang plagiat. Bener itu," gumamnya, bicara sendiri.
"Permisi, Ai."
"Iya." Ai mengalihkan perhatiannya ke pintu, butuh sekian detik sampai otaknya benar-benar menyadari. "Hai," sapanya lagi masih terlongong-longong. Cewek itu refleks berdiri. "Ngapain lo ke sini?" tanyanya mendekati Yaka di pintu, melakukan gerakan samar untuk merapikan rambut.
Yaka tersenyum lebar, bahunya bersandar pada kosen pintu. "Sibuk nggak?"
Ai menggeleng cepat. "Kenapa?"
"Hai, Ai."
"Eh, Reiki." Alis Ai hampir menyatu ketika cowok itu muncul. Dua orang ini sedang nyasar atau bagaimana.
"Boleh masuk?" tanya Yaka.
Ai memperhatikan juniornya yang sedang menggambar, sepertinya tak ada yang peduli dengan tamu mereka. "Boleh, kok."
Yaka dan Reiki berjalan masuk, kepala mereka bergerak untuk memindai ruangan. Ai mengaitkan dua tangannya di belakang badan, rasa-rasanya seperti sedang kedatangan tim inspeksi mendadak akan kelayakan ruangan klub. "Maaf ya, Guys. Nggak serapi klub kalian."
"Wah ... ini artistik banget," seru Reiki, sembari mengarahkan telapak tangannya pada salah satu sisi dinding. "Gambar abstrak, kan?"
Ai terbatuk sekali, berusaha untuk tidak tertawa. Sebenarnya "gambar abstrak" itu semacam noda dari percikan cat entah dari kapan, saling menumpuk seiring berjalannya waktu. "Iya, kali."
"Keren banget kalian." Reiki mendesah. "Kenapa gue nggak lahir dengan skill gini ya?"
"Tapi nggak bisa gambar, nggak bakal hapus tulisan pintar di dahi lo, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Stupid Duckling ✔
RomansaSejak kecil Aisha Ramadhani nggak peduli dengan julukan 'tidak pintar' dari teman-temannya. Hidupnya baik-baik saja meskipun nilainya hanya bertengger di level standar. Ia sudah pasrah dengan keadaan otaknya yang lemot saat berhadapan dengan mapel...