Wangi manis menyambut indra penciuman Ai saat tubuhnya berada di ambang pintu rumah. Dengan cepat ia membuka sepatu dan berlari masuk untuk menemukan dari mana sumber aroma itu berasal.
Tebakannya benar. Mama sedang berada di dapur, menyemprotkan adonan warna ungu ke atas pola bulatan pada kertas minyak putih di talang. Ada beberapa mangkuk bening berisi adonan warna-warni yang tersusun pada meja. Setelah sekian lama, akhirnya Mama kembali berkutat dengan kue dan ovennya kembali beroperasi.
"Papa pulang?" tanya Ai, menarik kursi dan duduk. Mama tersenyum meskipun tak sampai ke ujung bibir.
"Papa nggak pulang hari ini," jawab Mama kalem, berbalik menuju oven dan memasukkan talang yang sudah penuh bulatan.
"Terus kenapa Mama buat Macaroon?"
"Buat kamu, Mama, Bik Nana." Tangan Mama kembali pada bulatan yang lain, kali ini berwarna kuning pastel. "Gimana sekolah kamu?"
"Baik. Walaupun nilai-nilainya belum ada kemajuan sama sekali." Ai nyengir.
Mama tertawa kecil. "Yang penting kamu tetap rajin sekolah. Dan nggak macam-macam. Maaf Mama terlalu sibuk akhir-akhir ini, jadi nggak bisa ngobrol banyak sama kamu."
Seperti Papa, wajah Mama terlihat lelah, Namun, beliau berusaha menyembunyikan di balik senyuman.
"Bibik bilang kamu buat baju?" Tangan Mama berhenti bekerja, oven sedang penuh.
Ai terkekeh dan menggeleng. "Bukan baju, Ma. Tapi, desainnya aja."
"Oh ya?" Suara Mama antusias.
Ai mengangguk dan mengambil ponsel di saku roknya, mencari desain yang sempat difoto sebelum memberikannya pada Mbak Tina. "Ini hasilnya." Ia memberikan ponsel itu pada Mama.
Senyum lebar Mama terbentuk. "Kamu berbakat," komentarnya sembari mengangkat wajah dari layar ponsel dan menatap putrinya bangga. "Kalau lulus SMA, kamu bisa ambil jurusan fashion design atau fashion business. Itu semua bisa menunjang bakat kamu."
Itulah hebatnya orang tua Ai. Alih-alih mempermasalahkan nilai-nilainya yang bobrok, mereka mencari tahu bakat dan minatnya, kemudian memfasilitasi agar bakat itu berkembang. Saat penerimaan rapor, mereka juga tak pernah mengeluh apalagi membentaknya karena nilai standar.
"Ma, Aku boleh ikut bimbel nggak?"
Ting ... Mama mengembalikan ponsel Ai, kemudian berkata. "Kamu mau? Dulu, kan, nggak suka." Mama berjalan menuju oven yang berbunyi.
Ai cengengesan. "Kan, udah kelas dua belas. Aku harus belajar keras biar bisa lulus."
Mama mengangguk-angguk, kembali berjalan ke oven untuk memasukkan Macaroon kuning. "Mama sih terserah kamu. Semoga ada peningkatan."
Ai meringis senang. "Makasih, Ma. Tolong kasih tahu Papa juga."
"Kamu, kan, bisa bilang sendiri."
Ai tidak tahu bagaimana wajah Mama saat mengatakan itu, lantaran Mama sedang memunggunginya, masih berkutat dengan oven. Namun, terdengar nada kaku hampir dingin dari suara lembutnya, mengisyaratkan bahwa beliau kesal berbicara dengan Papa.
Apa sudah separah itu? Ai menghela napas, mencoba menahan sesak yang selalu hadir saat memikirkan keadaan orang tuanya. "Aku ke kamar dulu, Ma." Ia berjalan meninggalkan dapur, menyisahkan banyak pertanyaan yang takut untuk diutarakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Stupid Duckling ✔
RomansSejak kecil Aisha Ramadhani nggak peduli dengan julukan 'tidak pintar' dari teman-temannya. Hidupnya baik-baik saja meskipun nilainya hanya bertengger di level standar. Ia sudah pasrah dengan keadaan otaknya yang lemot saat berhadapan dengan mapel...