BAB 2

588 107 8
                                    

Masukin ke Librari kalian yang ini ya.

Makan malam di keluarga besarnya Brian berbeda dengan biasanya. Ada tambahan satu orang anak yang menggemaskan dan Suna juga sudah menerimanya tanpa ada syarat apa pun setelah pengakuannya Brian bahwa ini adalah darah dagingnya Brian.

Anak itu cantik, dengan poni yang menggantung, gigi susunya masih utuh.
Brian kurang perhatian dari dulu darinya dan suami. Brian juga meminta bantuan agar Mentari diurus olehnya. Brian bukannya tidak mau, tapi tidak bisa mengurus anak kecil.

Barangkali akan sulit sinkron dengan pemikirannya Brian kalau soal anak.
Mau tidak mau juga Suna mengikuti apa perintah dari suaminya untuk mengurus anak ini saja, hitung-hitung menambah anggota keluarga yang juga bisa meramaikan rumah mereka yang sangat sepi itu.

Jadi Suna juga tidak akan menyangkal atau meminta Brian untuk tes DNA. Anak ini sudah mirip sekali dengan Brian, lalu di mana dia harus mencari alasan setelah pengakuannya Brian meninggalkan kekasihnya dulu.

Ya, walaupun perempuan yang katanya sebagai ibu Mentari ini bekerja sebagai ART di Singapura sana. Tapi tidak mungkin dia melihat dari latar belakang itu tanpa melihat betapa hebatnya perjuangan sang ibu.

Brian juga selama ini tidak pernah mengenalkan kekasihnya bukan? Siapa pun itu Brian tidak pernah kenalkan. Sekalinya ada, malah membawa seorang anak yang sampai membuat Suna dan suaminya terkejut.

Mereka menikmati makanan, tapi tidak dengan si kecil. “Kenapa nggak makan, Mentari?”

Anak itu mengambil sendok menatapi lauk yang ada di atas piring baru saja ditaruhkan oleh Suna. “Makan, yuk! Nggak suka sama makanan ini?”
Cucunya diam, Mentari sejak datang memang tidak bicara dengannya. Kecuali dengan Brian, meminta izin untuk mandi, mengganti pakaian, atau meminta bantuan untuk membuka pintu kamar mandi saat dirinya ingin pipis.

Anak ini sepertinya memang hanya mau dengan Brian. Tapi sikap cueknya sang anak yang membuat dia khawatir kalau mentalnya Mentari terganggu.

Anak itu mencicipi makanan lalu kemudian meminum air yang ada di dekatnya. Dia tidak melanjutkan makanannya. Malah dia pergi ke dapur menemui Mbak Maya dan berkata.
“Mbak, ada telul goleng?”

Mbak Maya yang tadi sedang duduk di dapur usai mencuci piring melihat nona kecil itu masuk ke dalam dapurnya dan meminta telur goreng. “Kan sudah ada makanan di sana. Emangnya nggak mau?” tanya Maya dengan sopan.

Mentari menggelengkan kepalanya.
“Pedes, adek nggak bisa makan.”

Maya baru ingat juga kalau sekarang ada anggota keluarga baru. Dia beranjak untuk mengambil telur dari kulkas.
“Mau digorengin telur?”

Mentari mengangguk. Lalu dia memanaskan penggorengan. “Tunggu, ya.”

Maya sadar anak kecil ini juga majikannya. Usai Brian mengatakan kalau anak ini adalah anaknya, dia memiliki pekerjaan baru.

Satu telur ceplok sudah selesai digoreng tanpa minyak. Lalu diberikan untuk si kecil dengan piring yang ditunjuk oleh Mentari. “Kenapa nggak mau piring yang ini?”

“Kata Mama nggak boleh, nanti jatuh. Adek bisa luka.”

Maya memahami lagi ucapan Mentari usah dia menunjuk piring melamin yang ada di rak piring itu. Dia kemudian mengiyakan, lagi pula piring itu sering digunakan oleh majikannya juga. “Ya sudah, nasinya yang banyak?”

“Nggak, dikit aja. Mama kapan pulang?” gerakan Maya terhenti begitu mendengar pertanyaan Mentari mengenai ibunya. Menurut yang dia dengar dari Brian tadi tidak sengaja dia menguping waktu sedang membersihkan ruang tamu, Brian mengatakan kalau malam ini ibunya Mentari akan berangkat ke Singapura dan pekerjaannya juga sama dengan yang Maya kerjakan.

Mana mungkin akan sebentar di sana.
Mentari pasti akan lama dititipkan di sini. “Mama kan lagi kerja, sayang.”
Mentari yang hanya diam lalu dia menunjuk gelas berwarna senada dengan piringnya. “Mau makan di mana?”

“Adek bawa nanti.”

Maya mengisikan air. Mentari menolak untuk diberikan sendok. Jadi Maya membantu anak itu mencuci tangannya barusan.

Mentari keluar dari dapur.

Anak itu membawa nasi dan juga gelasnya ke belakang. Tidak bergabung ke meja makan. Dia memilih untuk mengasingkan diri. Rasanya dia hanya butuh Erin saja di sini.

Dia makan dengan cukup lahap karena tadi siang makan sedikit waktu Erin mengajaknya pergi.

Usai makan malam, Suna mencari keberadaan cucunya. “Yan, anak kamu sudah tidur?”

“Dia kan dari tadi di luar, Ma.”

Brian yang baru saja turun dari kamarnya membawa gelas kosong yang pasti itu adalah gelas semalam dan akan mengambil air minum. “Emang nggak ada gitu masuk ke kamar kamu?”

“Nggak ada, tadi dia nggak jadi makan. Terus dia ke mana?”

Mereka malah saling tanya waktu Suna tidak menemukan cucunya.

Sewaktu mereka sedang berusaha mencari anak itu dan beberapa kali memanggil tidak ada jawaban. “Maya, tadi Mentari ke sini nggak?”

“Ada Nyonya, tadi minta digorengin telur, terus dia minta nasi sama air putih. Katanya mau makan.”

Suna mendapatkan informasi dari asisten di rumahnya dan sekarang mencari keberadaannya Mentari.
Dia menemukan Mentari sedang ada di belakang. Dilihatnya anak itu sedang duduk di lantai dengan piring yang dia pangku. Sialnya Suna berjalan dengan cepat waktu dia melihat cucunya di luar. “Kenapa di luar? Nanti sakit. Nggak boleh duduk di sini.”

Mentari yang masih makan dengan menyuapi dirinya sendiri. “Nungguin, Mama.”

Erin tidak akan pernah kembali dengan cepat. Dilihatnya anak itu hanya makan dengan telur goreng tapi cukup lahap.
“Kenapa nggak makan tadi sama Nenek? Papa juga di sana, kan?”

“Pedes.”

Jawaban itu menamparnya dan Maya juga kenapa tidak masak untuk Mentari? Ia malah kasihan melihat cucunya. “Abisin makanannya, Nenek temenin.”

Anak itu tidak menjawab dan menghabiskan makanannya sampai tandas. Ia meneguk air yang dia bawa juga. “Besok mau makan apa?”
“Ayam goleng. Nggak suka ada yang pedes, Nek.”

Anak itu beranjak dari tempatnya makan barusan. Dia menemani cucunya ke dapur. Brian yang berpapasan dengan anaknya hanya diam.

Mentari ke dapur, sedangkan Suna menghampiri Brian. “Nggak tanya gitu di mana Mama ketemu sama dia?”
Brian mengangkat kedua bahunya lalu berkata. “Mama sudah tahu jawabannya. Nggak perlu lagi aku tanya, kan?”

“Jangan cuek ke dia. Kalau kamu nggak mau. Mama bawa dia tinggal di Lombok. Mama kasihan soal mental dia di sini. Mama nggak yakin kamu bisa urus dia. Kalau memang nggak sanggup. Biar Mama yang urus.”

“Aku nggak bisa urus dia, Ma.”

“Mama tahu. Maka dari itu, Mama bawa dia ke Lombok. Kamu fokus saja bekerja. Mama akan rawat dia dengan baik di sana. Kamu cuekin gini, Mama khawatir dia mentalnya terganggu. Biar bagaimanapun juga dia masih anak kecil yang belum tahu apa-apa, Nak. Dia nggak boleh diabaikan begitu saja sama kamu. Yang ada dia sedih sekali sama tingkah kamu.”

“Yang mana aja yang terbaik menurut, Mama. Kalau memang mau bawa aku persilakan.”

Brian memang keterlaluan, setidaknya dia bertanya anaknya makan apa?

“Ohya, Ma. Dia tadi makan apa, ya?”

Ini yang ditunggu-tunggu oleh Suna. “Dia makan telur goreng doang. Besok Mama mau minta Maya masak yang nggak pedas. Lusa Mama bawa ke Lombok. Nggak ada gunanya juga dia di sini sama kamu. Nggak diurus. Biar Mama menolak dia, tapi sekarang Mama pilih urus dia sendiri. Mama sama Papa bakalan kabari kamu tiap Minggu soal dia.”

Yuk kenalan sama Mentari.

Ada Brian juga yang kece

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ada Brian juga yang kece. Biar bisa lebih waaah menghalunya.

Nggak ketinggalan juga untuk Erin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Nggak ketinggalan juga untuk Erin.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Semoga suka, ya. Yuk komentarnya. Yang suka cerita sedih boleh banget nih. Hehehehe

Cinta Untuk MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang