Yuk follow dulu, ya.
Suna dan suaminya sepakat akan membawa Mentari pergi dari rumah ini dan akan biarkan Brian untuk tinggal sendirian. Jika memang tidak bisa mengurusnya, maka dengan senang hati Suna dan suaminya mengurus cucunya sendiri.
Walaupun mereka tidak menyangka bahwa perbuatan itu pernah Brian lakukan demi mencari sebuah perhatian.
Jika butuh perhatian bisa dengan cara yang lain.
Tapi kali ini Suna cukup sadar diri kalau dia dan suaminya dulu selalu sibuk memberikan uang dan apa yang diinginkan oleh Brian akan selalu jalan. Tanpa memikirkan kalau anaknya butuh perhatian.
Waktu dia menemani cucunya bermain, tiba-tiba suaminya menghampiri. “Ke mall, yuk! Belikan Mentari baju. Bajunya lusuh gitu. Enggak enak dilihat.”
Mentari menoleh. “Baju dali, Mama. Adek nggak mau pakai baju balu.”
Ditolak mentah-mentah. Sementara Suna harus pelan-pelan mengambil hati cucunya. “Sabar, Pa. Mungkin memang didikan Erin yang beda. Papa sendiri gimana? Apa Papa tolak dia?”
Pria itu menggeleng menarik napasnya dalam-dalam. “Nggak, mendengar cerita dari Brian soal masa lalunya. Rasanya Papa nggak bisa tolak anak ini.”
“Dia cerita apa?”
“Ya soal dia akui kalau Mentari itu anaknya. Rasanya dia anak yang sudah buat kita kerepotan, Ma.”
“Mentari?”
“Brian,” jawab pria itu. Tidak ada yang salah pada Mentari. Yang salah adalah Brian yang tidak bisa menahan nafsunya saat itu.
Anak ini adalah korban dari kelakuan anak yang tidak bisa mereka didik waktu itu. Terpaksa dia harus menerima cucunya juga lantaran ulah dari Brian. Mentari berlari ke dapur entah mau melakukan apa. “Papa sebenarnya sulit sekali terima dia. Karena biar bagaimanapun Mentari ini aib keluarga kita. Dia aib terbesar. Tapi mau bagaimana lagi. Sudah telanjur, Ma. Sekarang kita cuman bisa lindungi.”
“Apa menurut Papa Brian harus nikahi ibunya, Mentari?”
Suna hanya ingin memastikan karena dia hanya khawatir kalau suaminya memandang dari segi ekonomi bahwa wanita itu tidak akan bisa menikah dengan Brian karena Brian akan dijodohkan.
“Sepertinya lebih baik begini saja, Ma. Brian jangan nikah dengan siapa pun.”
Beruntungnya suaminya waras kali ini. Tidak akan memaksakan keadaan. “Maksud, Papa. Dia nggak akan nikah dengan siapa pun?”
“Ya, nggak usah nikah. Dia lebih baik fokus kerja saja. Terserah nanti sama pasangannya yang mana. Jangan sampai dia nikah dulu. Anaknya yang kasihan kalau misalnya tumbuh tanpa orangtua lengkap. Brian biarkan saja seperti ini. Erin juga mungkin nanti akan memikirkan soal anaknya. Entah dia diambil oleh ibunya, Papa tetap nafkahi dia.”
“Papa yakin soal itu?”
“Karena Papa putuskan kalau harta warisan Brian jatuh ke Erin. Brian nggak ada hak ngasih ini ke anaknya karena anaknya hadir di luar nikah tanpa pernikahan juga malah. Jadi biar Papa yang kasih dia bagian. Entah nanti mereka akan hidup bersama atau tidak. Yang penting dia punya masa depan. Dari lahir, kita nggak tahu hidupnya seperti apa.”
“Kalau memang pemikiran Papa jauh ke sana. Kenapa nggak balikin Erin ke sini? Kita biarkan dia punya usaha.”
Tapi suaminya malah sepertinya akan menolak untuk hal itu. “Papa nggak akan lakukan hal bodoh itu. Erin pergi ke luar negeri jalurnya itu legal, bukan ilegal. Akan sulit untuk bantu dia keluar juga. Dia sudah berangkat masalahnya. Andai saja dia belum berangkat, kita punya usaha untuk cegah ini terjadi. Biar saja dia mungkin obati lukanya juga. Anaknya kita bantu saja.”
“Pa, Papa ngomong begini atas dasar apa?”
Suaminya menarik napas lalu menoleh ke arahnya. “Atas dasar kebodohan kita sebagai orangtua yang harusnya bisa didik Brian dengan baik. Tapi kita biarkan dia malah rusak anak orang lain yang tidak bersalah. Kita cekoki dengan uang, tanpa kita sadari dia telah berbuat salah.”
Suna juga tertampar dengan ucapan suaminya kalau anaknya memang salah dalam kasus ini. Tidak ada yang bisa disalahkan. “Bukan kebodohan Erin jika dia sampai hamil. Yang bodoh adalah Brian. Dia yang buat semuanya begini.”
Cucunya kembali lagi membawa jus dalam kemasan kotak dan membawakan Suna dan suaminya saat itu. “Terima kasih, ya.” Ucap suaminya kepada si kecil yang menaruhkan jus di atas meja dan Suna juga dapat bagian. Sedangkan dia mengambil susu lalu naik ke atas sofa.
“Nenek, Mama belum pulang?”
Pertanyaan ini akan jadi pertanyaan setiap hari pastinya dari Mentari. Cucunya tidak pernah jauh dari Erin dan pasti akan bertanya hal serupa.
“Mama nanti pulang kalau Mentari udah sekolah,” jawab suaminya. Dia sebenarnya tidak tahu cara mengelak lagi.
Mentari duduk di sofa sembari menikmati susu yang dia ambil tadi. Dia memenuhi kulkas dengan makanan dan minuman untuk cucunya ini.
Dia melihat kalau anak ini cukup ceria sekali. Jadi bagaimana caranya untuk membuat anak ini tetap bahagia di sisinya? Dia tidak tega membuat Mentari bersedih.
Mereka mengobrol santai. Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka dari luar yang sangat keras sekali. Baru saja mereka menoleh. Brian menarik napas. “Beruntunglah Mama sama Papa belum bawa Mentari pergi.”
Anak itu menoleh sembari memegang susu yang diminumnya. “Kenapa memangnya?”
“Kurasa aku harus urus dia sendirian.”
Suna dan suaminya saing lirik, bagaimana mungkin dia bisa percaya kalau anaknya bisa mengurus anak ini dengan baik. “Apa kamu sedang bercanda?”
Brian lalu duduk di pinggir Suna. “Erin menghubungiku. Aku tidak mau dia menghinaku dan mengatakan aku pria yang bodoh dan tidak bisa urus anaknya.” Bisiknya di dekat telinganya Suna.
Suna malah menoleh ke arah putranya. “Itu anak kamu juga, oke!” dia menekankan itu kepada Brian.
Brian yang merasa terpojokkan akhirnya mengangguk. “Oke, dia anakku. Tapi aku nggak bisa biarkan Mama bawa dia.”
“Tapi di sini dia sama siapa?”
“Sama aku, dia nggak butuh pengasuh. Dia sudah besar, dia akan lakukan segalanya denganku.”
Suna tidak akan melarang. Kalau itu keinginan anaknya. Lalu dia lihat ke arah Mentari lagi. “Mau ikut sama Nenek nggak? Tapi nggak ketemu sama Papa.”
Anak itu malah menggeleng. “Nggak, mau sama, Papa aja.”
Brian mengangkat jempol. Dia sudah bersumpah akan jaga anak ini pada Erin. Ketika di kantor tadi dia dihubungi oleh wanita itu dan mengabari kalau dia telah tiba di sana dan lupa untuk memberitahu.
“Yakin kamu bisa urus dia?”
“Yakin, Ma. Aku bisa urus dia.”
“Tanpa wanita! Mama nggak mau kamu kenalkan dia ke wanita calon istri kamu suatu saat nanti.”
“Tanpa calon istri.”
“Yakin nggak mau nikah?”
“Urus bocah ini dulu, Ma. Kalau cowok nikah lama juga nggak masalah. Aku urus ini sampai Erin pulang.”
“Ah iya, kamu lebih baik jadi single aja terus, Yan. Nggak usah nikah. Nggak lucu, anak kamu udah besar kamu malah nikah nanti sama cewek lain. Terus anak kamu nggak diterima. Jadilah kayak serial bawang merah dan bawang putih. Anak kamu jadi korban, melayang nyawa kamu kalau sampai anak kamu diapa-apakan.”
Brian malah mengusap lehernya. “Papa kenapa sadis sekali beberapa hari ini?”
“Kalau kamu tahu gimana perasaan Papa pengen bunuh kamu, sepertinya kamu akan paham rasanya seperti apa, Yan. Tapi Papa tahan karena ada Mentari.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Untuk Mentari
RomanceFOLLOW SEBELUM BACA!!! Brian memiliki hidup yang begitu sempurna dan pasti diinginkan oleh banyak orang. Akan tetapi kehidupannya berantakan begitu wanita yang bahkan belum sempat dia putuskan datang membawa seorang anak kecil perempuan ke dalam hid...