18 Mengakui Perasaan

449 98 7
                                    


Brian bangun lebih dulu dibandingkan dengan Mentari. Menginap di rumah ini atas permintaan Erin untuk menemani Mentari tidur. Begitu ia bangun dilihatnya sang anak malah memeluk lengannya.

Dia menyeka rambut yang melewati wajah anaknya. "Mentari, bangun yuk! Sekolah hari ini."

Perlahan anak itu membuka matanya, masih tangan itu memeluk lengannya Brian. "Papa nginep?"

"Ya, waktu Mentari bobok. Papa ke sini karena Mama bilang Mentari kangen sama Papa."

Anak itu semakin erat untuk memeluknya. "Papa nggak boleh sibuk terus. Kasihan adek nggak pernah ditemenin Papa lagi."

Merasa salah kalau tidak ada waktu untuk Mentari. Sementara Brian harus tetap bekerja demi mencukupi kehidupan anak dan juga wanita yang masih disayanginya sampai sekarang. "Hari ini dianterin, Papa."

"Papa nggak lihat kalender, ya?"

"Kenapa?"

"Kan hari ini tanggal merah, Papa."

"Eh, emang iya?"

Mentari berkedip mengiyakan. Brian mengambil ponselnya lalu mencari tahu tentang hari ini. "Astaga, Papa nggak lihat kalender."

"Papa, hari ini jalan-jalan, yuk! Ajak Mama juga."

"Boleh sayang."

Mentari terkekeh lalu memeluk Brian. "Adek sayang sama Papa."

Anak yang tidak tahu apa pun mengenai kesalahan Brian di masa lalu meninggalkan Erin. "Dek, marah nggak sama Papa?"

Mentari malah bangun dari tidurnya lalu menaiki tubuhnya Brian. sama sekali pria itu tidak marah jika diperlakukan seperti ini oleh anak kandungnya. Tahu bila Mentari tidak tumbuh dengannya waktu itu. "Kenapa harus marah, Papa? Kan sekarang adek punya Papa. Papa punya banyak uang, adek pengen beli sepeda dari dulu. Papa beliin, adek pengen punya baju bagus. Papa juga beliin."

"Nggak marah ya?"

"Nggak, soalnya Papa juga jemput Mama buat adek waktu itu. Adek nggak mau jauh-jauh dari Mama. Papa juga sayang sama Mama."

Brian tidak bisa ceritakan bagaimana bejatnya ia di masa lalu sampai mengakibatkan Erin hamil. Lalu menolak kehamilan itu. Detik ini juga malah mendapatkan kasih sayang dari Mentari. Pasti rasanya tidak adil juga bagi Brian.

Pria itu tersenyum mencolek hidung anaknya. "Mau jadi apa kalau sudah besar, Nak?"

"Pengen jadi polwan, Pa."

"Mau jadi polwan? Hmmm nggak pengen jadi pengusaha?"

"Pengusaha itu apa?"

"Kayak Papa ini."

"Oh iya, Pa. Adek mau jadi bos, biar Papa sama Mama nggak usah kerja. Di rumah aja nanti."

Brian malah senyum dengan ucapan anaknya yang dibarengi dengan suara tawa si kecil yang sangat bahagia sekali. Berjanji kalau tidak akan ada orang lain. meskipun nanti antara dirinya atau Erin yang akan menikah. Tapi Brian akan pastikan jika dirinya akan lebih fokus pada Mentari dibandingkan apa pun di dunia ini.

Waktu dia bangun dan memangku si kecil, malah air matanya jatuh. "Ih Papa malah nangis. Padahal adek bahagia."

"Maafin Papa yang ninggalin adek sibuk dari dulu. Sampai besar seperti ini baru bisa ketemu sama, Papa."

Mentari menertawakan Brian. "Papa cengeng. Padahal adek di sini." Bocah itu memeluk Brian meskipun tidak tahu kejadian yang sebenarnya.

Brian mengusap air matanya sampai Erin masuk ke kamar anak itu dan melihat mereka berdua berpelukan. "Adek, mandi dulu, yuk!"

"Adek kan nggak sekolah, Ma. Tanggal merah, hari ini kita jalan-jalan, Ma. Papa mau belikan Mama hadiah."

Brian malah kikuk waktu Mentari bahas hadiah. Mana pernah Brian bicarakan soal hadiah. Ia tidak pernah janjikan apa pun kepada Erin. Namun anaknya sudah lebih dulu bahas mengenai hadiah. "Kamu nggak mandi juga? Kita jalan-jalan." Ucapnya kemudian karena sudah telanjur anaknya berkata demikian.

Mentari turun dari pangkuan Brian lalu mengambil handuknya dan ke kamar mandi. "Yan, aku pengen di rumah aja."

"Dia pengen jalan-jalan, Erin."

Mentari sudah masuk ke kamar mandi. Brian memegang tangan wanita itu. "Kita ke toko perhiasan, ya."

"Buat?"

"Janji aku dulu belikan kamu cincin. Aku punya uang sekarang, kita beli buat kamu."

"Untuk apa coba? Aku nggak butuh itu, Yan."

"Erin, soal cincin yang aku maksudkan adalah cincin lamaran. Kamu pakai kalau kamu terima. Kamu nggak usah pakai kalau kamu nggak mau."

Erin malah bingung, bukankah itu akan membuat Brian makin berharap. "Apa kita akan menjadi seperti ini terus, Yan?"

"Kalau kamu jawab nggak, ya kita bakalan seperti ini terus. Aku mau tahu jawaban kamu, Erin. Aku sih nunggu kabar baik dari kamu saja, Erin. Diterima ya syukur."

"Nggak diterima gimana?"

Brian menatap wanita itu. "Ya nggak masalah. Itu hak kamu nerima aku atau nggak."

"Kamu tahan nggak nunggu aku selama tiga tahun?"

"Bisa, lagi pula kita ketemu tiap hari kok. Jadi aku nggak masalah kalau kamu minta aku nunggu selama itu."

Erin malah merasa sedang digoda oleh pria ini. "Kamu kayaknya nggak serius, Yan."

"Serius, Erin."

Brian mengusap kepala wanita itu kemudian tersenyum. "Aku kan sudah bilang, aku nggak bakalan janji. Tapi aku buktikan bagaimana aku serius sama kamu. nggak akan kamu temukan janji-janji itu lagi di sini. Soal nikah, kamu mau hari ini pun aku bakalan urus hari ini kalau kamu bersedia. Tapi aku tahu kamu punya hak nolak. Apa pun jawaban kamu suatu saat nanti. Aku bakalan terima."

Waktu mereka sedang mengobrol serius sekali. Mentari muncul. "Iiiiih Papa. Godain, Mama."

Erin langsung melepaskan tangannya yang dipegang oleh Brian. "Papa kenapa nggak tinggal di sini sama kita? Biar punya adek lagi. Biar ada temen main."

Erin menggeleng langsung. Brian tahu reaksi itu pasti karena Erin takut Brian pergi. "Mau ya punya adek?"

"Mau dong, Papa."

"Ya udah nanti Mama sama Papa bikinin."

Aaaaaaah

Brian menjerit saat Erin mencubitnya. Wanita itu segera pergi setelah mencubit Brian yang mungkin refleks saat membahas mengenai adik untuk Mentari. "Walaupun kamu kesal, kamu tetap cantik," kata Brian di dalam hati saat Erin meninggalkannya.

Sungguh ini adalah kebahagiaan yang teramat sangat bagi Brian saat melihat wanita itu cemberut meninggalkan kamarnya Mentari.

Sementara Mentari malah tertawa lalu mengejar Erin yang berlalu meninggalkan kamar.

"Aku bisa lihat kamu seperti ini lagi, Erin." Dia turun dari tempat tidur untuk mandi di kamar mandi anaknya.

Melihat kamar mandi yang sangat bagus sekali milik si kecil dia malah tersenyum saat semua barang yang di kamar mandi ini diletakkan di tempat semula oleh anaknya. "Pintar sekali kamu, Mentari. Papa harap bisa bahagaikan kamu sama Mama selamanya."

Brian membantu membersihkan kamar mandi anaknya yang mungkin belum sempat dibersihkan di beberapa bagian.

Keluar dari kamar mandi anaknya. Lalu dia ke tempat sarapan. Sudah banyak sekali menu sarapan untuk hari ini. Brian mendekat dan malah refleks mencium pipinya Erin. Meski kebiasaan itu sudah terjadi beberapa tahun lalu. Tapi setiap kali disiapkan sarapan, ini akan diberikan oleh Brian kepada Erin. "Yan, ada Mentari."

"Hehehe, Papa sayang sama Mama ya? Makanya Mama dicium?"

Erin menuangkan susu untuk anaknya. "Ya, dek. Papa sayang sama, Mama." Jawab Brian lalu dibalas dengan gelak tawa anaknya yang menutup mulutnya dengan tangannya. Terlihat sangat bahagia sekali si kecil saat ini dengan jawaban dari Brian. 

Cinta Untuk MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang