Brian bangun dengan kepala yang sedikit terasa berat. Mendengar suara anak-anak bermain dan ribut di luar sehingga dia terbangun dari istirahatnya. Juga tidak salah dengar kalau istrinya sedang mengobrol di luar dengan beberapa orang.
Telinganya tidak salah dengar ketika wanita berucap bahwa Erin menikah hanya karena harta. Memang yang dia dengar kenyataannya seperti itu. Sadar kalau ucapan orang di sini tidak baik untuk mentalnya Erin dan Mentari.
Brian dengar dengan jelas kalau omongan orang di sini cukup toxic, jadi wajar kalau Mentari tidak mau kembali lagi ketika Erin bahas kontrakan ini.
Banyak orang yang sibuk mengurus kehidupan orang lain. Tanpa mengurus kehidupan sendiri yang tidak baik.
Erin masih bicara dengan sopan, mendengar jawaban-jawaban dari istrinya. Brian ingin keluar. Tapi itu adalah urusan para wanita yang tidak bisa dia campuri. "Tapi, Erin. Mentari kenapa besar baru ketemu sama Papanya?"
"Papanya sibuk di kota. Tapi tetap kirim uang kok waktu itu."
"Kirim uang. Kalau papanya kaya, nggak mungkin kamu kerja."
Brian beranjak dari tempat duduknya usai mendengar itu. Dengan maksud untuk menjawab ucapan mereka semua. "Mentari juga hidupnya nggak sebaik ini. Kamu juga dulu sibuk cari uang. Anak kamu dititip sana ini. Kadang ikut."
Brian langsung keluar dan berdiri di ambang pintu. "Saya bukannya nggak mau nafkahi mereka. Tapi saya memang ada konflik dengan Erin. Jadi, dia urus anak kami berdua. Saya mencarinya ke sana kemari. Kami sudah menikah sejak lama. Dia tidak tahan ditinggal kerja, saya jarang pulang. Akhirnya dia kabur meninggalkan saya. Lalu salahnya di mana?" tanya Brian dengan ekspresinya yang dingin.
Lalu beberapa wanita memasang raut wajah yang tidak suka. "Bukan begitu, Mas."
"Hidup Mentari yang dulu adalah kesalahan saya yang sibuk kerja. Cari uang, sampai tidak ada waktu sama istri dan anak. Sekarang Mentari punya segalanya, waktu saya untuk sibuk bekerja pun dikurangi sekarang. Erin berjuang besarkan anak saya. Tapi dari sekian banyak orang yang di sekitarnya. Ternyata kehidupan bertetangga yang Erin sama Mentari jalani itu nggak baik. Toxic, sibuk urus orang lain." Jawabnya Brian.
Brian menghampiri mereka semua. "Mobilnya Mentari untuk sekolah. Dia punya mobil pribadi untuk di antar ke sekolah sama sopirnya. Mentari nggak pernah kekurangan uang untuk jajan. Kesibukan saya meninggalkan dia dulu berbuah manis, yang dia inginkan tercapai. Dulu dia pinjam sepeda, nggak dikasih. Bahkan dia kejar-kejar temannya yang pakai sepeda biar dikasih pinjam. Tapi ternyata nggak dikasih pinjam. Roda kehidupan itu berputar, Bu. Mau kita berusaha sebaik apa pun kalau takdir kita nggak di sana, ya bagaimana. Sementara rezeki seorang anak juga sudah pasti ada. Mentari punya rezeki yang syukurnya itu banyak. Mentari nggak kekurangan, bahkan dia punya rumah, dia punya hotel sendiri, punya villa. Jadi mau dia jadi dokter pun, Mentari nggak akan kekurangan. Mentari nggak pernah bahagia masa kecilnya sebelum ketemu saya, tapi setelah ini saya pastikan dia akan hidup dengan baik."
Brian akan membela istri dan anaknya yang terus dipojokkan seperti itu. "Erin tidak seperti yang ibu pikirkan. Erin dan saya menikah secara resmi. Jangan terlalu khawatir terhadap kehidupan orang lain yang sudah lebih baik dari hidup kalian. Akan lebih baik jika pikirkan besok anak mau makan apa, pikirkan besok kalau sekolah mau ke mana. Biaya dan juga apa pun itu untuk keluarga. Bukannya sibuk untuk interogasi hidup orang lain."
Keberatan kalau istrinya diurus oleh orang lain. Anaknya juga kena imbasnya.
Disela-sela dia berkata seperti itu. Erin juga menimpali. "Niat saya pulang ke sini karena rindu sama Bibi Ita. Yang selama ini lancarkan keinginan saya untuk bekerja. Mentari juga sering saya titip di sana. Entah makan apa aja dia nggak milih. Saya ke sini untuk balas jasa beliau, bukan untuk temani kalian julid." Wanita itu berani menjawab karena sudah pasti Brian akan membela istrinya di depan orang-orang ini.
"Erin, Brian, ayo makan!" ajak Ita yang membawakan makanan ke dalam kontrakan Erin tanpa peduli ada orang-orang di sana yang cukup banyak sedang mengobrol dengan Erin.
Erin kemudian mengajak Brian masuk. "Kami masuk dulu, Bu." Ucapnya Erin lalu pergi.
Waktu Brian sudah ada di dalam. Mentari dipanggil untuk makan siang oleh Erin. Tapi tahu hati istrinya pasti sakit sekali karena orang-orang di sini tidak menjaga omongannya. Apa yang ada di dalam dirinya langsung diutarakan.
"Erin nangis, ya?" tanya Ita.
Tapi Brian menggelengkan kepalanya. "Dia sudah terbiasa sama orang-orang sini. Setelah dia pergi, saya merasakan kesepian karena nggak ada yang ke rumah bawa piring, minta nasi."
"Mentari?"
"Ya, dia dulu sering banget ditinggal kerja sama Erin. Pintu rumah tidak dikunci sama sekali. Erin sering nggak masak karena emang nggak ada yang mau dimasak. Makanya saya sering bawakan makanan. Mentari kalau siang bawa piring ke rumah mau makan. Cuman saya punya saudari yang pernah usir dia dulu."
"Bibi tahu banyak tentang dia?"
"Saya tahu tentang kamu. Ninggalin Erin waktu dia hamil. Dia cuman cerita sama saya. Erin bilang memang kesalahan di waktu muda. Sejak itu Erin ke rumah orangtuanya, nggak ada yang nerima, saudaranya pun menolak. Tantenya ngusir, omnya juga ngusir. Saya pernah minta Erin untuk menikah dengan anak saya, tapi untuk jadi istri kedua. Sayangnya anak saya menolak karena nggak mau buat beban, tapi tetap bantu Mentari. Pernah Mentari sakit, anak saya yang bantu. Karena putra saya nggak punya anak waktu itu jadi saya suruh nikahi Erin. Tapi Erin bilang kalau Mentari disayang sama Papanya. Itu juga orangtua Erin meninggal setelah ada Mentari. Jadi dia bersikeras ketemu kamu."
"Anak Bibi sekarang di mana?"
"Dia sudah pindah ke kota. Sekarang juga sudah punya anak. Istri barunya mau punya anak. Kalau yang pertama sibuk di karier."
"Apakah Erin pernah jalin hubungan sama anak Bibi?"
"Hampir iya. Anak saya juga tertarik tapi tidak untuk nikahi karena kasihan sama Mentari. Tapi Erin punya prinsip kuat. Katanya Mentari disayang sama kamu. Pamit ke kota, terus sekarang ya bawa kamu."
Tidak salah lagi ketika dia baru pertama kali datang wanita ini tidak asing dengan Brian. "Anak Bibi kerja di kota sebagai apa?"
"Lupa, dia masih kirim uang sampai sekarang."
"Dulu sering bantu Mentari?"
"Sering, dulu pernah tawari mau belikan Mentari sepeda. Erin nolak, terus pas sering dibaikin sama anak saya. Itulah awal kenapa Erin pergi dari sini. Karena dia dituduh jadi simpanan anak saya."
Brian mengangguk, "Terima kasih karena sudah membantu Erin sama Mentari, Bi. Kalau Bibi butuh bantuan, atau anak Bibi mau kerja. Bilang ke saya, nanti saya kasih pekerjaan. Karena saya mau bantu orang yang dulu pernah bantu anak dan istri saya."
Erin masuk membawa Mentari yang penuh dengan keringat. "Buka bajunya! Sana di dalam ada kipas angin. Udah tahu panas, main terus." Erin malah melampiaskan emosinya pada Mentari.
"Erin, nggak usah dibentak gitu. Namanya juga tumben pulang." Tegur wanita yang beranjak dari tempat duduknya menyusul Erin yang ke kamar barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Untuk Mentari
RomanceFOLLOW SEBELUM BACA!!! Brian memiliki hidup yang begitu sempurna dan pasti diinginkan oleh banyak orang. Akan tetapi kehidupannya berantakan begitu wanita yang bahkan belum sempat dia putuskan datang membawa seorang anak kecil perempuan ke dalam hid...