27. Menjadi Manusia

329 78 6
                                    

Brian baru saja menghubungi orangtuanya untuk memberitahukan rumah yang diinginkan oleh mereka berdua sedang dalam proses renovasi. Kali ini Brian juga akan tinggal dengan orangtuanya berdampingan sesuai keinginan sang mama ingin dekat dengan cucunya. Mentari juga yang sedih kalau ditinggal jauh.

Anaknya sudah terlanjur dekat dengan orangtuanya Brian.

Telepon ditutup, kaki jenjangnya mulai meninggalkan ruang kerja pribadinya di rumah itu. Turun dari lantai dua untuk mencari keberadaan anaknya yang tadi katanya ingin main berdua. Karena Brian akan bicarakan hal penting, jadi ia meminta kalau ditemani oleh pria itu.

Dilihatnya Erin sendirian ada di dapur. "Sayang, Mentari mana?"

"Di luar lagi main sepeda, Mas. Udah pakai helm segala. Dia nungguin Mas tadi."

Brian tahu karena anaknya mengajak main sebelum orangtuanya menghubungi.

Brian membuka pintu dan melihat anaknya ada di luar gerbang sambil main sepeda. "Adeeeek, pulang! Jangan disitu!"

Mentari menoleh dan segera memutar sepedanya untuk masuk. Dia menutup gerbang dan menunggangi sepedanya lagi ke arah Brian. Anaknya turun dari sepeda. "Masuk dulu! Nanti main sama Papa. Papa mau ngomong sama Mama."

Anak itu mendekat ke arah Brian dan dibukakan helmnya oleh Brian. "Jangan ke sana, soalnya banyak truck angkut material. Nanti pas mundur, adek nggak dilihat lagi main sepeda. Bahaya buat adek."

Anaknya hanya diam ketika Brian melepaskan helm itu. "Dengar nggak Papa ngomong apa?"

"Dengar Mas Brian."

Erin datang membawakan minuman juga kue untuk mereka berdua. "Nggak boleh bilang begitu ke Papa dong. Masa Papa dipanggil Mas."

"Mama juga kan panggil Papa begitu."

Erin duduk di sofa dan memangku si kecil. "Mama panggil papa seperti itu kan karena Papa suaminya Mama."

"Oh Papa juga suaminya adek aja."

Brian senyum mendengar ucapan dari anaknya. Mentari memang menggemaskan tapi akhir-akhir ini lebih sedikit bertingkah saja. "Dengar nggak Papa ngomong apa barusan?"

"Dengar, Mama. Nggak boleh main di luar."

"Emang tadi dia ke mana, Mas?"

"Di gerbang rumah Mama. Di sana sepi juga. Nggak dilihat nanti sama truck, banyak banget kan keluar masuk karena bawa material."

Brian hendak menaikkan suaranya. Mentari langsung pindah dari pangkuannya Erin lalu berdiri di sebelahnya Brian dan menepuk kedua pipi pria itu dengan telapak tangannya. Kemudian dia duduk di pangkuannya Brian. mengelus dadanya pria itu. "Papa sabar... nggak boleh marah-marah sama anak kecil. Kan adek sayang Papa."

Dia menarik napasnya panjang melihat ekspresi anak itu yang dekat dengannya. Tapi Brian juga lihat Erin tersenyum karena tingkah laku anaknya yang semakin hari menggemaskan. "Tadi di luar adek main sama anak tetangga."

"Siapa?"

"Namanya Alvin, Pa. Dia main sepeda, terus adek nggak sengaja lihat rumah di depan dibangun lagi."

Tapi Brian hanya fokus mendengar nama anak cowok yang disebut oleh Mentari. "Alvin itu anak yang sebelah kan?" Brian tahu anak yang seumuran dengan Mentari.

Mentari mengangguk. "Ya, adek nanti mau main lagi sama dia."

Brian mengelus dadanya. Melirik ke arah Erin. "Kenapa, Mas?"

"Mentari jangan main lagi lah. Papa kayaknya nggak ikhlas kamu dibawa anak cowok."

"Hehehe adek mau pacaran, Pa."

Cinta Untuk MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang