16. Alvaro

655 80 0
                                    

"Susah, gak?"

Ara yang tengah duduk di atas motornya menoleh pada Aidan. "Lo nanya gue?"

Aidan yang juga tengah duduk di atas motor matic-nya berdecak. "Ya iyalah. Sama siapa lagi?! Kan cuma ada kita di sini," ucap lelaki itu ngegas.

Ara mendengus. "Santai napa sih! Sensi amat. PMS lo?"

Gadis itu memakai jaket dan helmnya. Menoleh pada Aidan, lagi. "Lo mau nginep di sini?"

Aidan mendelik. "Ya, enggak lah."

Ia segera memakai helm dan menyusul Ara yang sudah melaju terlebih dahulu.

Aidan berhenti di depan halte saat melihat Vina tengah duduk sendirian di sana. Lelaki itu membuka helm, menyugar rambutnya ke belakang,  membuat Vina terpesona selama beberapa saat.

"Hey, Vin!" Aidan melambaikan tangannya di depan wajah Vina. Gadis itu masih terdiam menatapnya. "Hey!"

"Eh?" Vina mengerjap pelan. "Aidan? Ada apa?"

Aidan terkekeh, mengusak rambut gadis itu lembut. Hal yang jarang ia lakukan pada Ara, malah ia lakukan pada gadis lain. "Kenapa belum pulang?"

"Belum ada yang jemput," kata Vina diakhiri dengan senyuman.

Aidan balas tersenyum. "Mau gue anter?"

"Nanti ngerepotin," ucap Vina.

Aidan menggeleng. "Enggak, kok. Ayo gue anter!"

"Iya, deh. Makasih, ya!"

"Iya. Sama-sama."

...

Ara menghentikan laju motornya di depan sebuah bengkel. Menoleh ke belakang. "Dia ke mana?" gumamnya, saat tak mendapati Aidan di belakangnya.

Gadis itu memasukkan motor matic-nya ke bengkel itu. "Bang, motor saya bannya kempes."

Salah satu montir yang ada di sana bangkit, lalu menghampiri Ara. "Yang mana, Neng?"

"Yang depan."

"Oh, ya udah. Bentar, ya! Saya panggil dulu montir yang lain, soalnya saya lagi ada kerjaan."

"Iya, Bang."

Ara memilih duduk di bangku panjang yang tersedia. Menoleh ke arah jalan sesekali. Alisnya menukik saat melihat Aidan tengah berboncengan dengan Vina.

Ara mengalihkan tatapannya pada seorang montir yang sedang menambahkan angin ke ban depannya. Ia menaikkan sebelah alis, saat melihat wajah si montir yang terasa familiar.

"Lo---"

Si Montir menoleh dengan ekspresi dinginnya. "Apa?"

Ara mendengus, lalu bangkit. "Biasa aja kali. Sinis amat lo." Ia menyerahkan uang pada si montir, Alvaro. "Nih."

Alvaro mengambil alih uang dari tangan Ara. "Udah, sana balik."

Ara mendelik kesal. "Ish! Pelanggan itu 'kan raja. Masa lo kayak gitu sih sama gue?!"

Montir yang tadi menghampiri. "Ada apa, Neng?"

"Ini, Bang. Dia ngusir-ngusir saya dengan tidak berperikemanusiaan," jelas Ara sambil menunjuk Alvaro yang masih menampilkan raut dinginnya.

Si Montir tadi tertawa pelan. "Emang udah wataknya kayak gitu dia mah."

"Eh, kamu kayaknya satu sekolah ya sama Varo?" Si Montir bertanya. Ara mengangguk kecil. "Nama kamu siapa?"

"Arabella."

Si Montir mengulurkan tangan. "Aldo, Kakaknya Varo."

Ara menjabat tangan lelaki yang lumayan tampan itu selama beberapa detik. Ia menatap Aldo dan Alvaro bergantian.

"Lo 'kan ramah, Bang," ucap Ara. Aldo hanya tersenyum. "Kok, dia jutek kek gitu?"

Aldo tertawa. "Udah bawaan dari lahir," jawabnya. "Pas brojol, bukannya nangis, dia malah diem aja. Orang tua kita aja sampe ngira kalo dia bisu. Ternyata enggak."

Ara ikut tertawa. Aldo ini sangat friendly, beda sekali dengan Alvaro. "Ya udah, Bang, gue pamit duluan, ya. Ada kerjaan."

Aldo mengangguk. "Kayaknya gue pernah liat lo deh sebelumnya. Tapi, di mana, ya?"

"Mungkin di Kafe DNA, Bang. Gue kerja di sana soalnya," sahut Ara.

Aldo mengernyit. "Kerja paruh waktu?" Ara mengangguk. "Tapi lo keliatan dari keluarga berada, ngapain kerja?"

"Lah? Emang kenapa?"

"Ya gak papa, sih. Cuma aneh aja. Biasanya, anak orang kaya tuh maunya males-malesan doang," ucap Aldo diakhiri tawa kecilnya.

Ara terkekeh. "Emangnya gue keliatan dari orang berada, Bang?"

Aldo mengangguk. "Keliatan banget. Dari auranya aja udah beda."

"Njir! Hahaha!"

Keduanya tertawa. Mengabaikan Alvaro yang memandangi mereka dengan pandangan aneh. Ini kenapa mereka malah kayak orang yang udah lama akrab?

"Udah, sana, pulang lo!" ujar Alvaro.

Ara berhenti tertawa. Melayangkan tatapan tajam pada Alvaro yang mengganggu kesenangannya. "Berisik amat, kek jangkrik."

Alvaro mendengus. "Bacot." Ia beralih menatap Aldo. "Lo juga, Bang. Ayo kerja lagi!"

"Ya udah, Bang. Gue pamit, ya. Kasian tuh adek laknat lo udah marah-marah," ucap Ara.

"Yo i. Lain kali mampir, ya!"

"Siap!"

...

Untung Sayang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang