23. Salah

636 86 4
                                    

Aidan menghela napas kasar. Sudah 2 hari ini, ia tidak menghubungi Ara, baik melalui chat atau pun telpon. Begitu juga sebaliknya.

Saat bekerja di Kafe, Aidan dan Ara tidak bertegur sapa sedikit pun, hanya seperlunya. Tidak ada yang mau meluruskan masalah yang terjadi.

"Kok, dia malah ikutan marah, sih?" Aidan bergumam pelan. "Kan harusnya gue yang marah. Dia ninggalin gue, demi ketemu sama si Kulkas Kampret itu."

Aidan mendengus keras, kala mengingat kembali Ara yang tertawa dengan Alvaro. Mereka bahkan bermain kejar-kejaran.

Dasar alay! Udah kek sinetron aja, pake kejar-kejaran segala.

Gue aja yang pacarnya, gak pernah tuh kayak gitu.

Lelaki itu mengacak rambutnya kesal. "Kenapa dia malah ikut marah, sih?!" ujarnya. "Salah gue apa?!"

...

Kafe DNA, 18.20.

Saat ini, para pegawai tengah membersihkan Kafe. Ara sendiri sedang membersihkan meja, sedangkan Aidan mengepel lantai.

Suasana yang biasanya ramai karena candaan atau pertengakaran Aidan dan Ara, hari ini begitu senyap. Pegawai lain pun tidak ada yang berani bertanya, karena mereka pikir itu privasi.

"Gue mau ke mini market depan sebentar," ijin Ara, setelah meletakkan alat pembersihnya. Ia lalu melepaskan celemek hingga menyisakan kaos oblong berwarna hitam senada dengan celana panjangnya.

"Mau ngapain, Ra?" tanya Oji.

"Biasa. Keperluan cewek," balas Ara. "Kenapa? Lo mau nitip?"

Oji menggeleng. "Enggak, sih. Cuma nanya aja. Hati-hati nyebrangnya!"

"Oke." Ara berlalu keluar dari Kafe.

Aidan yang melihat itu segera melepaskan celemeknya dan mengikuti Ara dari belakang. Mau bagaimana pun juga, ia masih menyayangi dan mengkhawatirkan Ara. Ia juga rindu pada gadis itu.

"Kenapa lo ngikutin gue?"

Aidan tersentak. Terlalu keasikan melamun sambil berjalan, ia sampai tak sadar jika Ara ternyata malah berhenti dan berbalik padanya.

"Gue tanya, kenapa lo ngikutin gue?"

Aidan memalingkan wajahnya. "Gak tuh. Gue cuma mau beli minuman doang. Ngapain juga gue ngikutin lo?"

Ara mendengus. "Ya udah, terserah."

"E-eh, tunggu!" Aidan mencekal pergelangan tangan Ara dengan kuat, membuat Ara yang hendak berjalan mengurungkan niatnya.

"Apa?"

Aidan menghela napas pelan. "Lo kenapa, sih? Dua hari ini lo nyuekin gue terus. Gue salah apa?"

Ara menaikkan sebelah alisnya, kemudian melepaskan cekalan Aidan. "Lo juga nyuekin gue. Gue salah apa?"

"Lo gak ngerasa bersalah?" tanya Aidan. Tak habis pikir.

Ara mengedikkan bahu. "Gak tuh."

Aidan mendengus. "Lo ada hubungan apa sama si Varo?"

"Cuma temen," jawab Ara singkat. Lagi pula, itu memang kenyataannya, 'kan?

"Cuma temen kok mesra-mesraan?" sinis Aidan.

Ara mengangkat sebelah sudut bibirnya, membentuk seringai. "Lo juga sama kali," ujarnya. "Lo pikir gue gak tau, lo ngelapin bibirnya Vina waktu itu. Malah lo ngusak rambutnya juga. Itu apa kalo bukan mesra-mesraan?"

"Tapi, gue sama Vina 'kan cuma temen," bela Aidan.

"Ya, gue sama Varo juga sama, bego!" sentak Ara. Matanya berkaca-kaca dan tangannya terkepal. Terlalu kesal sampai ingin menangis.

"Dasar brengsek!" geram Ara. "Lo ngelarang gue deket sama cowok lain, sedangkan lo sendiri udah kayak buaya darat yang haus belaian."

"Gue gak kayak gitu, Ara!" desis Aidan dengan rahang mengeras. "Gue deket sama cewek lain, gak pernah pake perasaan apa pun."

"Sedangkan lo? Lo pasti udah mulai suka 'kan sama si Varo itu?! Iya, 'kan?!" bentak lelaki itu.

"Bukannya lo yang mulai suka sama Vina?" balas Ara.

"Gak."

Ara mendengus keras. "Udahlah. Ngaku---"

"Aidan? Ara?"

Keduanya menoleh. Mendapati Vina tengah berdiri tak jauh dari mereka.

"Loh? Kalian kenapa?"

"Bukan urusan lo," ketus Ara. "Udah, deh. Mending lo pergi sebelum gue jambak rambut lo sampe botak."

"Kok, jadi marah sama aku? Aku salah apa?" tanya Vina.

Ara mendengus. "LO SALAH, BEGO!" teriaknya.

"Ara!" sentak Aidan. "Jangan nyalahin orang lain, deh! Jelas-jelas lo yang salah. Lo yang selingkuh."

Ara melotot. Napasnya tiba-tiba memburu. Rahangnya semakin mengeras dan tangannya semakin terkepal kuat. "Brengsek lo! Kita putus!"

BUGH!

"Aidan!" Vina menjerit saat Ara melayangkan pukulan di perut Aidan dengan keras.

"Modar aja lo, bangsat!" bentak Ara, kemudian berlalu pergi dari sana.

"Kamu gak papa?"

...

Untung Sayang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang