21| Kacau

43 14 7
                                    

Happy reading 💜

Happy reading 💜

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~*~

Gemerlapnya langit malam menyapa mata indah seseorang saat pertama kali membuka mata. Bintang-bintang bertaburan di langit yang cerah ini. Dari teras balkon lelaki itu berdiri, kepalanya mendongak menatap langit dengan lamunannya. Embusan angin malam yang menusuk tak dihiraukan, lelaki dengan kaos oblong hitam dan celana selutut yang sepadan tersebut tetap berdiri di sana dengan segala pikirannya. Kegelapan serta kesunyian malam sedikit membuat pikiran nya jernih. Beberapa menit berlalu akhirnya lelaki tersebut mengehela napas kasar dan mulai melangkah masuk kedalam kamar. Ia duduk di kursi, tepat didepannya ada meja belajar yang di penuhi dengan buku dan alat tulis lainnya. Lelaki tersebut mulai melanjutkan belajarnya, mencoba mengerjakan soal-soal untuk melatih kemampuannya. Kamar dengan nuansa abu-abu itu semakin terlihat gelap karena lampu kamar dimatikan, hanya lampu belajar dan sinar bulan dari luar balkon yang menerangi setiap detik ia belajar.

Tiba-tiba suara pintu terbuka terdengar, bersamaan dengan ruangan yang seketika terang.

"Kamu kok belajar gelap-gelapan gitu, sih? Nanti matanya sakit, lho," ujar seseorang itu seraya menyalakan saklar, kakinya melangkah semakin dekat dengan lelaki yang masih setia dengan buku di hadapannya.

"Lagian udah jam sepuluh malam, kenapa nggak tidur sih, Nath?" sambungnya yang kini sudah berada di belakang seseorang yang ia panggil 'Nath'. Perlahan kedua tangan itu memijat pelan bahu tegap lelaki yang sedang belajar tersebut.

"Lebih enak gelap kayak tadi, kalau terlalu terang malah bikin mata sakit. Lagian ini bentar lagi juga selesai kok, Bun," jawab lelaki tersebut tanpa repot-repot menoleh.

Eni-bunda Natha-menyudahi aksi memijat bahu anaknya, lalu perempuan tersebut melangkah menuju lemari kaca yang berisikan puluhan piala serta foto-foto sang pemiliknya. "Hidup itu pilihan Nath, kebahagiaan bukan datang dari orang lain melainkan dari diri kamu sendiri," ujarnya seraya membuka lemari tersebut secara perlahan.

"Selama ini bunda tau kamu selalu tertekan dengan tuntutan ayahmu. Sekarang kamu sudah besar, kamu bisa memilih sendiri masa depan kamu. Bukannya bunda mengajari kamu untuk memberontak, tapi bunda hanya ingin kamu bahagia," sambungnya seraya tersenyum getir saat matanya melihat foto-foto Natha tengah memegang berbagai piala tanpa ada senyuman yang menghiasi wajah lelaki tersebut.

"Orangtua memang selalu ingin yang terbaik untuk anaknya, tapi kadang caranya memang ada yang salah. Bunda membenarkan kalau sikap ayahmu itu keterlaluan, dia seakan enggak punya rasa puas." Tangan kanan Eni terangkat mengusap foto Natha saat SMP tengah memegang piala lomba olimpiade matematika ditangannya.

"Jangan terlalu keras dengan diri sendiri Nath. Belajar dengan hati yang ikhlas, bukan karena paksaan. Bunda gak menuntut kamu untuk selalu berprestasi sepanjang masa, segini saja sudah cukup, bunda lebih bangga kalau kamu menjadi diri kamu sendiri." Setelah puas menatap jajaran piala tersebut, Eni menutup pintu lemari kaca itu, lalu berbalik dan menatap anak semata wayangnya yang sekarang juga sedang menatap nya dalam diam. Kakinya perlahan kembali mendekati Natha, dia memeluk tubuh tegap itu dengan penuh kasih sayang. "Kalau emang kamu mau tetap seperti ini, coba bicara baik-baik dengan ayahmu. Setidaknya hargai sedikit usaha kamu, dan tidak terlalu menuntut."

Aqilaa: Memeluk LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang