4/10

1.6K 312 50
                                    

Takemichi menatap ke luar jendela dari atas bangsalnya. Sukulen kaktus mini hadiah dari Naho-sensei berdiri disana dengan anggun dan cantik. Satu-satunya makhluk hidup lain selain dirinya.

Ibunya kemudian datang dari luar dan memasuki bangsal, matanya sangat merah dan isaknya sangat dalam.

Naho-sensei disisi lain menutup wajahnya. Tidak tahu harus bagaimana, Takemichi tersenyum pedih. Ah, sepertinya mereka membicarakannya.

Takemichi mengulurkan tangannya dimana tangan senja milik Ibunya meraihnya balik. Itu tegas dan lembut, ia menyukainya. "Nah, Takemichi sayang. Apakah kau bahagia dengan keputusan ini?"

Si raven mengangguk, senyum melengkung indah di kelopak matanya. "Mm... Ya, Okasan."

.

Takemichi duduk dibelakang mobil Ibunya. Sangat jarang mereka berjalan bersama seperti ini sejak orangtuanya memilih berpisah.

Di Jepang, anak perempuan akan selalu mengikuti Ayah. Sementara seorang anak laki-laki akan mengikuti Ibu. Tapi Takemichi sama sekali tidak mengikuti siapapun hingga kehidupannya diulang-ulang seperti kaset rusak.

Meskipun dimenangkan oleh Ibunya dalam meja hijau.

Ibunya terlalu sibuk, Ayahnya tidak mencoba datang dan mengunjunginya sehingga keadaan ini sangat baru.

Takemichi tersenyum pilu, mengigit pipi bagian dalamnya ketika pelupuk matanya kembali basah.

Dia memang selalu di takdirkan sendiri.

Mengingat perasaan itu, ia kembali batuk.

"Jangan menahannya sayang, keluarkan saja."

Dia melirik Ibunya dan batuk memang terjadi. Sakit kali ini, ia memejamkan matanya di bawah  tatapan Ibunya saat mobil menepi, selimut yang Ibunya pasangankan terlepas dan turun dari tempatnya karena getaran tubuhnya.

Namun, tidak seperti empat bulan sebelumnya, itu hanya bertambah buruk. Wajahnya menjadi merah dan dia tersedak napasnya sendiri, berusaha mati-matian untuk menghirup udara namun hanya untuk terus batuk. Lengan gemetar, tubuhnya lelah, siku Takemichi tertekuk ke dalam dan dia ambruk ke pahanya, meringkuk dan terus batuk.

Perasaan bunga-bunga itu kembali merayap di tenggorokannya.

Bagaimana sesuatu berputar ke dalam paru-parunya, merangkak, kurus. Dia mulai tersedak, kali ini bukannya batuk, mencengkram lehernya dengan putus asa, matanya melebar ketakutan. Itu terus menyeret dirinya melalui tenggorokannya, menempel di belakang lidahnya sejenak dan membuatnya muntah. Untuk sesaat, dia yakin dia akan mati, dan ia mengharapkannya. Ia tersedak darahnya sendiri, dan dia akan mati sebagai pria yang menyedihkan dan tidak diinginkan.

Sesuatu yang basah memercik ke selimut di pangkuannya. Seketika, dia bisa bernapas, dan dia mengeluarkan napas terengah-engah, bergerak-gerak lemah, memegang jendela mobil dengan keras. Saat dia pulih, menghirup udara penuh syukur. Untuk waktu yang lama Takemichi tidak melakukan apa-apa selain membiarkan udara siang hari yang sejuk menenangkan tenggorokannya, mulut ternganga, ia menengadahkan kepalanya keatas perlahan dan mata menatap jauh ke Ibunya yang sudah menangis begitu hebat di kursi kemudi.

Takemichi tersenyum dengan sisa darah dibibir, Ia menyeret tubuhnya yang sakit ke atas untuk bersandar dengan baik di kursi dan menemukan selimutnya telah basah oleh muntahnya, darah dan sesuatu yang tidak bisa di katakan menjijikkan.

Ini adalah bunga yang berkilauan. Putih dan indah.

Seperti yang dia biasa lihat.

Tangannya yang gemetar dan gemetar disekeliling bunga itu, berlumuran darah merah. Cukup bersih sehingga semua bisa melihat apa itu, kali ini lebih banyak dan mereka tampaknya tumbuh menjadi kelopak besar, masing-masing dari mereka putih bersih sampai ke tengah. Di dalamnya ada lingkaran emas lembut, kecil berwarna ungu dan hijau.

Ini adalah bunga Krisan. 

Mereka melambangkan kesetiaan.

Dan Ibunya baru pertama kali melihatnya.

"Lega?"

Takemichi menggeleng, "Masih ada yang tersisa disini." Ia menekan lembut dadanya.

Ibunya tersenyum kecut, merasa bahwa dia adalah makhluk yang gagal sebagai induk maupun sebagai satu-satunya orang terdekat dari putranya.

"Minumlah ini," dia menyerahkan sebotol air mineral untuknya. Kemudian kembali menatap ke depan, setir di remas begitu dalam hingga buku-buku tangannya memutih. "Ada tempat yang kau inginkan untuk datang?"

"Mn, ada. Tapi Kaasan, bukankah kau harus berkerja?"

"Tenang saja, aku cuti dalam beberapa hari. Jadi dimana kau ingin pergi?"

.

Percayalah bahwa yang diinginkan Takemichi hanya sebuah kalimat belaka main-main. Tapi Ibunya benar-benar akan membawa kesana.

Mengambil tiket yang tersisa dan menemaninya dalam pesawat. Takemichi melihat awan yang mengambang di dekat jendela.

"Tidurlah untuk sementara waktu, ibu akan membangunkanmu ketika kita sampai."

Takemichi mengangguk, "Terimakasih Kaasan."

Putranya tidur begitu cepat, seperti yang dia duga. Putranya sama sekali jarang tidur nyenyak, bahkan semalam.

Semakin jelas seiring berjalannya waktu bahwa penyakitnya membunuhnya.

Dia pernah mendengarnya sebelumnya. Tapi baru pernah melihatnya yang pertama saat Takemichi muntah di dalam mobil, penyakit Hanahaki. Penyakit cinta dan bunga. Salah satu gangguan paling romantis dalam sejarah dunia,  Sungguh indah mati demi cinta, bukan? Mati untuk seseorang yang tidak pernah menginginkanmu kembali?

Tapi bukan untuk Putranya.

Meskipun dia adalah Ibu yang paling tidak bisa di andalkan. Ia masih memiliki hati nurani, putranya pantas mendapatkan apa yang dia inginkan.

Sano Manjirou, betapa beruntungnya dirimu.

Ia kembali menangis dalam diam.

Mendengar penuturan Naho-sensei, satu-satunya cara untuk menghancurkan penyakit yang hampir selalu mematikan adalah dengan membunuhnya sampai ke akar-akarnya — mencabut rumput liar yang seharusnya mereka kalahkan.

Tapi putranya menyimpannya.

Untuk dirinya sendiri.

Tuhan, Krisan putih memang cocok untuk keadaannya.

.

Jam-jam yang mereka lalui di dalam pesawat, taksi yang mereka gunakan di dalam kemacetan lalu lintas Filipina.

Takemichi menghela nafas, nostalgia.

"Metro Manila, Philippines."




TBC
Purwakarta,
7/December/2021

EPHEMERAL [MaiTake] -TAMAT✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang