Kota Pontianak, tahun 2014.
Sumpah ya, aku cuma seorang gadis bernama Sélene Aditya. Hanya seorang gadis yang tinggal berdua dengan Eyang Putri. Hanya seorang gadis biasa. Yang membuatku berbeda adalah anggapan orang-orang sekitar yang mengenalku sebagai 'Anak Rissa Si Pengusaha' atau 'Yang Tinggal di Rumah Besar situ' atau lagi 'Cucunya Bu Tina'. Dan berbagai sebutan lain yang menempelkan sifat-sifat dari orang yang patut disegani--paling tidak se-kompleks. Aku hanya seorang gadis yang jarang bertemu orang tua. Mama dan Papa sudah lama berpisah.
Yang membuatku 'spesial' adalah aku memiliki dua teman akrab yang tinggal satu kompleks perumahan. Karlina--anak tunggal asisten rumah tangga Eyang Putri--, dan Eza--anak tetangga sebelah rumah. Tiga jenjang pendidikan--SD, SMP, SMA-- di satu institusi yang sama membuat kami terlihat seperti saudara daripada teman akrab. Dan juga membuat kami hafal sifat masing-masing.
Entah sejak kapan kisah ini bermula dan didominasi oleh aku dan 'dia' yang akhirnya usai oleh kenaifan yang menyakitkan.
Kalau sudah tumbuh besar bersama, tentu saja kami juga pubertas sama-sama. Mungkin dari sinilah awalnya, dari fenomena perubahan fisik dan psikologis yang membuat gempar semua remaja. Dulu, kalau kami bermain bersama, tidak sah kalau tidak saling mengejek satu sama lain. Entah mengapa tiba-tiba saja semua tak lagi sama--atau menurutku saja? Kalau urusan memperolok ataupun menggoda teman, Eza-lah orangnya. Dia yang paling resek dan menyebalkan di antara kami bertiga--kodratnya cowok kali ya. Antara aku dan Lina, Lina yang selalu jadi korban potensialnya. Mungkin kalau orang lain yang melihat tingkah Eza, pasti mereka akan mengira cowok itu sedang merundungi Lina. Karena kalau Lina belum menangis atau marah besar, Eza tidak akan berhenti. Kenyataannya bukan begitu. Eza hanya anak yang jahil dan terlalu frontal. Aku dan Lina--sebenarnya-- paham itu, jadi tidak ada dendam sama sekali. Paling buat Lina, "Eza nih patut aku diemin, lah. Aku paling mengkal kalau Eza mulai nyakat-nyakat aku tuh."
Usia anak-anak sih masih dapat ditoleransi--sekarang pun masih. Hanya saja ada yang aneh ketika kami sama-sama kelas sepuluh SMA. Ada apa sih dengan fenomena perubahan diriku? Bisa-bisanya memengaruhi penglihatanku. Mau tahu? Kalau dulu, Eza terlihat paling 'menyebalkan', tapi yang kulihat sekarang seperti berbeda 180 derajat. Parah kan?
Bicara tentang menjadi berbeda, sebenarnya Eza memang membuat dirinya jadi berbeda. Lebih pas dia dikatakan sudah 'mengubah metode' kejahilannya menjadi terkesan 'remaja'. Waktu Eza masih disebut bocah, dia akan menggangu temannya dengan jalan mengejek atau mengerjai. Sedangkan Eza remaja mengubah godaannya dengan cara yang biasa disebut para cewek sebagai 'sikap sok manis'. Tak sampai di situ saja, posisi Lina yang biasa jadi korban kejahilan kini bergeser ke aku.
"Hei, Sélene! Stop,stop!" seru Eza yang muncul entah dari mana menghadang jalan aku dan Lina di depan gerbang SMA.
"Apa sih, Za?!" sentak Lina spontan lebih karena kaget--dan juga reaksi alamiahnya kalau Eza mulai berulah.
Eza seolah tuli oleh sergahan Lina hanya melirik ke arah puncak kepalaku. Aku mengerutkan dahi kebingungan.
"Sél, itu ada guguran kelopak bunga angsana di rambutmu tuh. Sini aku bersihin."
Eza mengulurkan tangan dan meraih sesuatu di kepalaku sebelum aku sempat melakukannya sendiri.
Harusnya aku protes-- hanya karena itu dia mesti berteriak di depan gerbang mengagetkan lalu lintas siswa di sana?. Tetapi aku hanya diam terpaku entah mengapa. Bahkan ketika Eza menunjukkan kelopak bunga angsana yang dimaksud sambil unjuk gigi tanda bahwa dia tidak mengada-ada.

KAMU SEDANG MEMBACA
Coretan Melodi - The Love Playlist Volume 2
Short StorySelamat datang dan selamat 'mendengarkan' lagu-lagu cinta pilihan penulis dalam Coretan Melodi - The Love Playlist. Meresapi denting instrumen dan makna lirik dalam cerita di kehidupan. *** Sélene Aditya nyaris tidak mau pulang ke kota asalnya--ji...