Part 9

2 0 0
                                    

Sembilan bulan mereka bersama.

Sebuah pintu bertuliskan "dr.Dr.Sasmita Gunawan. Psikiater". Tidak lama pintu itu berayun terbuka dan dua orang wanita keluar. Satu wanita muda melangkah ke depan ruangan sementara wanita yang paruh baya berhenti di ambang pintu. Wanita muda itu berbalik menghadap dokter hendak berterimakasih, mengecek ulang konsultasi berikutnya lalu berpamitan. Dokter berwajah keibuan itu tersenyum lalu menepuk lengan si wanita muda. Lembut.

"Jangan lupa, sebelum tidur kamu tekadkan dalam hati bahwa hari esok akan ada kebahagiaan. Pas bangunnya kamu ucapkan dalam hati kalau hari ini akan jadi hari bahagia. Usahakan ambil cuti, Nak. Pergi liburan. Semoga kamu sukses dan bahagia selalu." pesan dokter itu.

Wanita muda itu tersenyum haru. Dia mengangguk lalu mengulang ucapan terimakasih sebelum dia balik kanan. Melangkah pergi. Dokter itu mengikuti langkah wanita itu dengan matanya sampai bayangan wanita itu akhirnya menghilang di koridor rumah sakit tempatnya berpraktek. Sejurus kemudian, dokter itu menghela napas prihatin. Ikut bersedih dengan yang dialami oleh wanita muda tadi.

Dari koridor berlawanan, seorang pria muda berjalan pelan menghampiri dokter yang sedang termenung ke arah wanita tadi pergi. Mendengar sayup suara sepatu yang beradu dengan lantai keramik di belakangnya, dokter itu menoleh dan terkejut mendapati pria muda yang dikenalnya melangkah menuju tempatnya berdiri sekarang. Pria itu terus melangkah dengan pandangan penuh tanya ditujukan kepada dokter itu. Sang Dokter tetap berdiri tenang di ambang pintu ruangannya menyongsong kedatangan pria itu.

"Tante, dia kenapa?" tanya pria itu begitu sampai di hadapan dokter. Di wajahnya tampak sekali kecemasan yang ditujukan untuk wanita muda yang barusan pergi.

Sang Dokter yang ternyata kerabat dekat si pria memandang pria itu lekat-lekat. Seperti mencari sesuatu dari diri pria itu.

"Benar kamu mencintainya, Nak?" alih-alih jawaban, Dokter balik bertanya. Ada maksud tertentu dalam kalimatnya.

"Ya iya lah, Tante!" jawab pria itu spontan dan mantap. "Untukku, dia adalah segalanya. Entah dari dulu, sekarang, dan sampai nanti."

"Walau dia tidak sesempurna wanita lain?" selidik Dokter.

"Biar dia cacat, Tante. Iya! Dia tetap segalanya untukku." lagi-lagi pria itu menjawab dengan kesungguhan paten.

Dokter itu tersenyum menghargai lalu dia memegang bahu pria yang merupakan keponakannya tersebut dengan sentuhan penyemangat.

"Temani dia, Geraldi! Yakinkan dia dengan cinta yang kamu miliki. Dia tidak punya orang lain untuk membantunya percaya tentang bahagia. Dia hanya punya kamu. Dia percaya kamu, walau kadang dia masih ragu. Kalau kamu memang mencintainya, buktikan! Dia hanya perlu orang yang meyakinkannya dan orang yang mau membangun hari baru bersamanya."

Pria itu mengangguk mantap. Setelah itu dia mengucapkan terimakasih dan mencium tangan tante-nya dengan takzim. Tak sampai lima belas detik, pria itu sudah tidak kelihatan lagi siluetnya di koridor rumah sakit itu.

Dokter itu duduk di hadapan meja kerjanya. Mengeluarkan sebuah buku harian yang berisi perkembangan pasien-pasiennya. Dibubuhkannya tanggal hari ini lalu menuliskan:

Setiap orang tidak selalu memiliki kelapangan hati untuk merengkuh sisa-sisa ingatan yang abadi di kepala.

****

"

Ninety four point five, Swara FM Pontianak, inspiring your day! Halo, Swara Listeners!" seru Arini dan Arya bersamaan membuka program asuhan mereka malam itu.

Coretan Melodi - The Love Playlist Volume 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang