Nusantara: Chiang

220 52 5
                                    

Taeyong sengaja mengambil penerbangan komersil biasa di sore hari agar bisa sampai ke desa saat malam hari. Ia juga mencari maskapai yang statistik penumpangnya selalu banyak. Hal ini ia lakukan agar ia dan Ten bisa membaur dengan para muggle, kalau-kalau di perjalanan mereka bertemu dengan auror yang boleh jadi mencari mereka sekarang—kalau sekiranya rencana Taeyong yang waktu itu terbongkar. Taeyong sendiri sudah membawa Ten ke salah satu salon muggle, mengganti warna rambut lelaki itu menjadi merah sebagai salah satu penyamaran. Sedangkan Taeyong yang seorang metamorphmagus tidak begitu khawatir karena ia bisa merubah penampilannya kapan saja yang ia mau.

"Hyung" Panggil Ten grogi. Mereka baru keluar dari ruang tunggu Bandara.

Taeyong tak menjawab, ia hanya merentangkan tangannya, membiarkan Ten meraih dan menggenggam tangannya. Beriringan keduanya berjalan ke salah satu kumpulan taksi yang jumlahnya lumayan banyak di daerah penjemputan sekaligus drop out penumpang itu. Taeyong memilih penerbangan langsung ke Malang. Dari sini, mereka bisa saja langsung apparate ke gunung Arjuna, tempat Alas Lalijiwa itu berada. Tapi Taeyong ingin menyimpan energinya, juga energi Ten nantinya. Apalagi anak itu baru saja sembuh.

"Kalau ke Batu kurang lebih satu setengah jam pak. Tapi alamat lengkapnya kemana ya?" Tanya supir itu, sumringah saat tahu calon penumpangnya fasih berbicara bahasa Indonesia.

"Nanti saya yang instruksikan pak" Jawab Taeyong patah-patah, tersenyum tipis.

"Barang bawaannya ini aja, pak?"

"Iya, ini saja" Ucap Taeyong mengulurkan satu koper—yang sebenarnya kosong itu—di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya masih digenggam Ten erat.

Supir itu mengangguk, tidak bertanya lebih banyak, bergerak cepat meraih koper dan menaruhnya ke bagasi.

Mereka turun di perbatasan kota Batu, tepat di depan hotel agar tak dicurigai. Setelah membayar sewanya, Taeyong dan Ten berjalan cepat, menghindari mata manusia. Selama dua hari menunggu Ten sembuh, Taeyong sudah mencari tahu setapak alternatif untuk pergi ke tempat yang mereka tuju, jaga-jaga kalau mereka tidak bisa apparate di sana. Taeyong tidak pernah ke daerah ini sebelumnya, ia juga tidak pernah mendengar cerita soal daerah ini dari keluarganya. Dan benar saja, tidak ada wilayah yang mengizinkan mereka untuk ber-disapparate. Mendekati tengah malam, Taeyong dan Ten baru sampai di Alas Lalijiwa.

"Ten, kau tahu rupa manusia pohon, bukan?"

Ten mengangguk, dia pernah mempelajari itu di kelas herbologi.

"Beri tahu aku kalau kau sudah menemukan salah satu dari mereka"

Ten kembali mengangguk, berkonsentrasi mencari di tengah tebalnya kabut. Bentuk hutan disini beda dengan yang ada di Korea atau di China. Hutan ini punya hawa yang jauh lebih pekat, lebih gelap. Pepohonannya tumbuh jarang-jarang dengan spesies yang tak begitu banyak, tapi kabutnya jauh lebih tebal. Beberapa kali Ten tersandung ranting atau akar yang tumbuh sampai ke permukaan saat meraba-raba tiap pohon yang ia dekati.

"Hyung! Disini!" Panggil Ten kemudian saat menemukan satu. Bentuk manusia pohon itu seperti pohon pada umumnya, tapi batangnya berdetak kencang seperti dentum jantung manusia, dan ada getah merah berbau amis seperti darah bila kita gores permukaannya.

Taeyong langsung berbalik, mendekat ke arah Ten cepat. Ia segera mengeluarkan paku dari dalam amplop. Tangannya bergerak cepat menancapkan paku itu pada batang pohon, dan realita di sekitar mereka berubah sepenuhnya. Yang tadinya hanya pepohonan dan kabut, kini berubah jadi lapangan luas dengan gerbang kayu besar berukir tulisan jawa kuno yang berarti Nusantara.

Ten mengedarkan pandangannya, ia bisa melihat dua penyihir berjalan beriringan dengan kayu di pundak mereka, membawa tubuh manusia yang tak sadarkan diri.

[end] Crucio (TAETEN)Where stories live. Discover now