Berdiri di sebuah panggung, menatap puluhan pasang mata yang menatapnya. Perempuan bergaun merah maroon dengan topeng yang menutupi hampir setengah dari wajahnya itu, begitu menikmati setiap petikan gitar oleh jemarinya. Nyanyiannya mengalun merdu, menghipnotis setiap orang yang setia menyaksikannya.
Dia Wendy, mempelai wanita yang kabur setelah mengucapkan janji pernikahannya. Entah mengapa, panggung sederhana di sebuah cafe kecil seperti ini selalu menjadi tempat pelarian Wendy sejak masuk JHS. Lebih tepatnya, sejak penyihir itu masuk ke dalam kehidupannya dan menghancurkan kebahagiaan Wendy.
Bagi Wendy, bernyanyi adalah sebuah obat. Entah sihir apa yang ada di dalam sebuah nyanyian, tapi Wendy merasa bernyanyi adalah penawar untuknya dan dengan sebuah nyanyian pulalah Wendy merasa bebas mengekpresikan emosinya dengan indah.
Wendy meembungkuk setelah sebuah lagu selesai dia senandungkan. Secara otomatis sorak sorai penonton di dalam cafe menjadi riuh, memberikan apresiasi hangat atas nyanyian Wendy. Senyuman lebar dari wajah Wendy tercipta di balik topeng berwarna putih itu. Inilah yang selalu menjadi impian Wendy, setiap orang menghargainya sebagai seorang Wendy, bukan sebagai seorang putri dari mendiang konglomerat yang mereka segani dan hormati.
Ini juga yang dimaksud Wendy dengan penawar. Dulu, mendiang ibunya juga suka bernyanyi untuk Wendy, suaranya merdu nan lembut. Hati Wendy selalu menghangat saat mendengar lantunan lagu dari ibunya. Entah sudah berapa belas tahun Wendy tak pernah mendengar suara ibunya lagi. Suara yang selalu ingin Wendy dengar sebelum dia tidur.
Namun, suara tepuk tangan dari para penonton kembali menyadarkan lamunan sekejap Wendy. Saat Wendy mengangkat kepalanya kembali, Perempuan cantik itu langsung terkejut saat melihat seorang pria yang berdiri di depan sana. Tatapannya juga begitu tajam.
Apa Seoul terlalu sempit, hingga Chanyeol juga bisa sampai di cafe terpencil seperti ini, pikir Wendy.
"Shit! Kenapa dia ada di sini?" gumam Wendy pelan. Tangan Wendy bergerak untuk memastikan topeng di wajahnya masih terpasang dengan benar. Dia menelan salivanya dengan kasar. Tapi, tatapan Chanyeol di depan sana masih tak luntur sedikit pun.
"Suara yang bagus! Tapi, kamu melakukan kesalahan!" Chanyeol berteriak.
Untuk pertama kalinya selama Wendy bernyanyi, ada orang yang mengeluhkan nyanyiannya. Meski tak penah menunjukkan wajahnya, Wendy dikenal sebagai penyanyi bertopeng yang sangat bertalenta. Bahkan agensi raksasa yang bernaung di industri pemusikan Korea Selatan pun kerap kali menawarinya kontrak sebagai penyanyi. Tapi, Wendy tak pernah mau menjadikan nyanyiannya sebagai sumber penghasilan. Bagi Wendy, lagu dan nyanyiannya terlalu berharga untuk sekedar dihargai oleh uang.
Tapi, hari ini. Hari ini pertama kalinya di hidup Wendy, dia mendapat kritikan atas nyanyiannya dan itu dari Chanyeol. Wendy hampir saja lupa, pria yang baru tadi siang dia nikahi itu, seorang komposer musik yang namanya saja melejit bahkan di kancah internasional.
Chanyeol mulai melangkahkan kakinya, mendekati Wendy yang masih berdiri kaku memeluk sebuah gitar di depan sana.
Keduanya berdiri di atas panggung dengan keheningan. Acara musik di atas sana kembali diambil alih oleh sang MC. Chanyeol dan Wendy sedikit menepi ke samping panggung.
"Kamu bukan bernyanyi" ucap Chanyeol tiba-tiba.
"Maksudmu?" tanya Wendy dengan canggung. Ia lebih memikirkan bagaiamana caranya dia terus menyembunyikan identitasnya di depan Chanyeol. Tapi, sepertinya pria itu tak mengenalinya sama sekali.
"Bernyanyi bukan sekedar mengeluarkan suara yang enak di dengar. Bernyanyi artinya kita berkomunikasi." jawab Chanyeol.
Wendy mendongkakkan kepalanya, manatap mata Cahnyeol di balik topengnya. Tapi, Wendy tak mampu berkata-kata.
"Kamu percaya dengan sebuah pepatah, bahwa apapun yang keluar dari hati akan sampai ke hati pula dan nyanyianmu hanya sampai ke telinga." sambung Chanyeol.
Seakan menjadi hunusan pedang yang menusuk jantungnya tiba-tiba. Setiap ucapan Chanyeol begitu tepat sasaran menusuk hati Wendy. Sebenarnya Wendy bukanlah tipe closed-minded yang tidak menerima saran dan kritik dari orang lain. Tapi, Wendy merasa sangat kecil saat kritikan itu datang dari seorang komposer seperti Park Chanyeol.
Chanyeol menatap sebuah gitar yang masih dalam pelukan Wendy. "Terlebih, jika aku menjadi gitar yang kamu pegang sekarang. Aku akan berteriak. Kamu tahu, bagi seorang penyanyi gitar bukanlah sebuah alat. Dia adalah teman. Dan kamu malah menjadikan gitar itu sebagai objek. Entah apa motivasimu saat bernyanyi. Tapi nyanyianmu terkesan seperti balas dendam. Emosimu terlalu kamu tumpahkan pada setiap petikan gitarmu." jelasnya.
"Aku tak mengerti." sahut Wendy.
Chanyeol tersenyum miring, merespon perkataan perempuan di depannya. "Itulah sebabnya selama ini kamu tidak bernyanyi. Kamu hanya bersuara." timpalnya.
Chanyeol merogoh saku celananya, mengambil sebuah dompet hitam. Diambilnya sebuah kartu dari dalam dompet itu. "Jika tertarik, aku punya sebuah lagu yang cocok untukmu. Datanglah ke studioku! Kapan pun, pintu studio itu akan terbuka untukmu. Aku tak memaksamu. Hanya saja aku geram saat mendengar nyanyianmu. Di sana mungkin kamu akan belajar sesuatu." ucapnya sambil menyodorkan sebuah kartu nama.
Wendy memandangi kartu nama berwarna hitam itu. Kartu nama yang bertuliskan nama Chanyeol Park sebagai seorang produser musik.
Chanyeol mengulurkan tangannya, menunggu jabatan tangannya mendapat balasan.
"Oh ya, kita belum berkenalan dengan benar. Namaku Park Chanyeol. Siapa namamu?"
<<<>>>
KAMU SEDANG MEMBACA
TRICHER | Wendy, Chanyeol, Rosé
Fanfic"Keterpaksaan berujung pengkhianatan" Chanyeol menempatkan Wendy dan Rosé pada sebuah neraca kehidupan yang tak pernah seimbang. Jika Wendy menari dalam kebahagiaan, maka Rosé yang berkubang dalam kenestapaan. Begitu seterusnya. Bagi Chanyeol, Rosé...