"Mabes Polri telah menurunkan berita bahwa pelaku telah ... "
Layar televisi yang tadi menampilkan siaran berita nasional sontak menghitam. Wajah molek sang penyiar tak lagi tampak. Suara renyahnya padam. Berita itu jadi headline koran-koran besar. Aceh Besar dan Kota Banda Aceh gempar. Kejadian pengeboman itu membuat semua orang dihantui teror.
Setiap pagi, siang dan malam pun sibuk membahas berbagai spekulasi serta teori yang muncul secara tiba-tiba.
Gadis yang baru berusia enam belas tahun tersengal. Nyaris melempar remote ke dinding. Urat-urat di tangannya menyembul. Wajah hitam manis itu memerah dan basah oleh air mata. Ia berpindah dari ruang tengah ke kamar. Mengulik kembali lembar demi lembar buku harian peninggalan sang ibu. Mencari pengalihan.
Wanita surga yang telah melahirkan gadis itu memang rajin sekali menulis cerita sehari-hari. Hal sekecil apa pun, termasuk perkembangan putrinya. Dari hari ke hari, tahun ke tahun. Tak bosan-bosan menuangkan rasa ke dalam tulisan. Gadis itu mendekap satu di antara delapan buku harian ibunya. Tebal, setinggi dua ruas jari.
Dengan mata berlinang, ia berbaring. Menikmati setiap kehangatan yang tertinggal. Pun cinta yang dicurahkan. Wanita perkasa itu telah tiada. Kemarin adalah waktu terakhir sang ibu hidup di dunia. Ia menjadi saksi berapa indahnya proses sang ibu kembali ke pangkuan Illahi. Terlihat begitu tenang, sembari terus melisankan kalimatullah.
Garis polisi terbentang di depan rumah. Namun, dirinya belum pindah. Ia tak tahu harus pergi ke mana, sedangkan sanak saudara menolaknya. Ia terlanjur dicap sebagai bibit tak baik yang kelak akan menghancurkan agama, nusa dan bangsa. Cap itu sangat menyakitkan. Semua omongan orang tak lagi enak didengar.
Namun, cepat atau lambat dirinya harus pergi dari sini untuk mencari dunia baru. Walau tak ada jaminan indah seperti sebelum kejadian itu. Bisa saja lebih parah. Ah, gadis itu mulai terisak. Ia mengutuk takdir, bahkan mulai menghujat tanggal di mana dirinya lahir ke dunia. Lambat laun matanya redup, lalu tertutup. Lelah terus menerus meratapi nasib. Buku harian ibunya telah basah sebagian. Terkena air mata dari seorang gadis belia yang malang.
🦋
Kalung emas putih berukir nama pemberian ayah tergeletak di lantai. Nur Rafidhah. Nama yang indah. Walau hidupnya tak mengikuti keindahan nama. Panggilan kesayangan dari keluarga, Fi. Namun, ia tak mau mendengarnya lagi. Mulai sekarang, nama panggilannya adalah Aya. Mata madu itu menatap saja kalung miliknya.
Ia tidak berniat memakainya kembali atau menyimpan di tempat aman. Aya berniat ke luar mencari makan. Walau ibunya baru meninggal, tak ada yang sudi melayat. Rumahnya sepi walau masih dalam suasana berduka. Tiga hari. Baru tiga hari lamanya.
Aya membuka pintu. Matanya terbelalak. Tubuhnya gemetar. Banyak sampah di halaman rumah. Termasuk karton-karton berisi ancaman. Aya menutup lagi pintu dengan cepat. Ia tak berani bepergian. Aya takut. Sangat takut.
Tak sempat dihiraukan brimob yang berjaga di depan. Entah kapan ada yang mencuri kesempatan untuk mengotori halaman. Aya takut sekali menghadapi kondisi seperti ini. Tubuhnya luruh ke lantai. Perlahan, tapi pasti. Isak tangis kembali memecah sunyi.
"Assalamualaikum!" Suara wanita menghentikan tangis Aya.
Cepat-cepat ia mengusap air mata. Membuka pintu dan menemukan istri Keuchik (kepala desa) Dayah Daboh berdiri dengan rantang di tangannya.
"Waalaikumsalam, Bu Keuchik. Ada keperluan apa, ya?"
"Ini, Ibu i bawakan makanan. Takut kamu lapar terus gak ada bahan makanan di rumah. Dimakan, ya?"
Hati Aya lega. Ia menerima dengan mata berkaca-kaca.
"Bu Keuchik, tunggu sebentar, ya? Saya kosongin dulu rantangnya. Nanti saya cuci juga, kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not Terrorist [Tamat]
Literatura FemininaTELAH TERBIT DI PENERBIT LOVRINZ "Jangan mendekat! Ada bom di sini! Tolong, suruh orang-orang menjauh!" Tiga puluh lima detik lagi. Aya sudah menyerah. Mustahil belitan tali tas itu bisa terlepas. Ia akhirnya memilih duduk sembari memejamkan mata...