Duduk termangu sambil menunggu sesuatu, bukanlah kebiasaan Aya. Sejak dulu, ia benci menunggu. Banyak hal yang pernah dinanti malah tak datang dan memberikan kekecewaan mendalam di hati. Sejak itulah ia benci terlalu lama duduk menunggu.
Namun, sekarang pekerjaannya adalah menemani Ning Amelia ke mana-mana, sekaligus membantunya mengerjakan apa saja. Pagi pergi sekolah, siang sampai sore kalau tidak bermain bersama Gus Syatir pasti ikut Ning Amelia, malam masih dengannya, sesekali ikut mengaji dengan teman-teman, lalu tidur dan bangun lagi untuk tahajud.
Sejak tinggal di rumah Kiai Ali, Aya segan jika tidak beribadah. Akhirnya menjadi kebiasaan, malah merasa tak enak hati bila ditinggalkan. Masih banyak santriwati yang mengejeknya, baik di depan mau pun di belakangnya. Terkadang saat Aya lewat, mereka bisik-bisik dengan suara lantang.
Sejak awal, Aya sudah menguatkan hati, berada di sini berarti harus siap mental. Bisa saja ia menyembunyikan diri terus menerus di rumah Kiai Ali, tapi Aya tak akan mampu menghilang.
Siang ini, Aya sedang berada di toko baju, di sebuah pusat perbelanjaan. Ning Amelia hendak membeli keperluan dapur atas permintaan ummahnya, serta memilih beberapa hadiah untuk lomba menjelang Maulid Nabi. Mereka diantar Gus Sajid karena Kahfi sedang sibuk berembuk bersama para asatidz dan asatidzah lain.
Awalnya, Ning Amelia meminta masnya--Gus menunggu di mobil saja, tapi Gus Sajid khawatir. Takut tenaganya diperlukan.
"Aya, boleh bantu saya?" tanya Ning Amelia seraya mendekat.
"Boleh."
"Saya ndak bisa memilihkan gamis buat anak-anak. Nanti di hari H selalu ada santunan anak yatim. Biasanya ummah yang memilih. Saya ragu, kalau harus memilih sendirian. Saya takut mereka ndak suka," papar Ning Amelia, wajahnya sedikit memelas.
"Yang namanya hadiah, suka gak suka harus diterima, iya, kan?" Aya menanggapi dengan gayanya.
"Iya, benar. Tapi, sebisa mungkin, saya ingin mereka menerima yang terbaik. Boleh, ya, bantu saya?"
Tanpa banyak cakap, Aya bangkit dari tempat duduk lalu melangkah ke bagian baju anak-anak. Ning Amelia mengikuti dengan wajah gembira. Belakangan sudah tak terlalu susah membujuk Aya. Malah lebih sering Aya berinisiatif sendiri.
Namun, baru beberapa langkah berjalan, Aya spontan menunduk sembari memegang kepala. "Astagfirullah, ini kenapa lagi, Ya Allah? Haruskah saya mengalami sakit lahir dan batin?" gumam Aya kesakitan. Sejak pingsan waktu itu, kepalanya jadi sering berdenyut sakit.
Aya menggeleng beberapa kali, berusaha mengenyahkan rasa sakit yang menyerang, tapi rasa itu tetap betah bersarang. Ning Amelia dan Gus Sajid awalnya belum menyadarinya. Mereka sibuk melihat-lihat.
Saat tak sengaja menabrak Aya sampai hampir terjengkang, barulah Ning Amelia tersadar. Ia langsung panik, tapi berusaha menguasai diri agar tak terlalu kentara, dan membuat Aya tak enak hati untuk menceritakan kondisinya.
"Kepalanya sakit lagi?" tanya Ning Amelia lembut. "Sini, duduk dulu."
Gus Sajid mendekat dengan kening berkerut. "Mbak Aya kepalanya sakit lagi, Dek?"
"Iya, Mas. Boleh bantu Amel beli air minum?" pinta Ning Amelia, ia sedang memegangi pundak Aya yang meringis kesakitan.
Gus Sajid mengangguk pelan dan langsung ke luar dari toko baju dengan langkah lebar-lebar. Beberapa saat kemudian, laki-laki itu kembali dengan membawa sebotol air mineral.
Rupanya, sang adik sudah membawa Aya duduk di sofa yang tersedia. Beberapa pegawai toko mencoba melihat apa yang terjadi, tapi dengan sopan Ning Amelia meminta mereka untuk tidak berkerumun di sekitar Aya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not Terrorist [Tamat]
ChickLitTELAH TERBIT DI PENERBIT LOVRINZ "Jangan mendekat! Ada bom di sini! Tolong, suruh orang-orang menjauh!" Tiga puluh lima detik lagi. Aya sudah menyerah. Mustahil belitan tali tas itu bisa terlepas. Ia akhirnya memilih duduk sembari memejamkan mata...