"Akak Aya, ada suka sama akang-akang santri sini, gak?" Meutia menatap penasaran sembari menyendok es krimnya.
Aya menggelengkan kepalanya. Mereka sedang duduk di bawah pohon jambu, tempat di mana Gus Syatir biasa bermain.
Hari ini Meutia ulang tahun. Orang tuanya mengirimkan uang dua kali lipat dari jajan bulanannya, karena tak bisa datang.
Sebenarnya, Meutia sedih. Namun, ia berpikir, jarak antara Aceh dan Sleman sangat jauh. Tidak bisa ditempuh sehari dengan naik mobil.
Makanya, sebagai upaya menghibur diri, Meutia mengajak Aya makan-makan saja. Sayang sekali, Aya menolak bepergian ke luar pesantren. Dia khawatir kalau-kalau Ning Amelia membutuhkan dirinya, dia sedang tidak ada.
Kalau begitu, untuk apa perempuan itu menggajinya. Alhasil, demi rasa kasihan pada Meutia yang tampak sedih, akhirnya Aya minta dibelikan es krim saja.
Sekarang, mereka sedang duduk di bangku panjang semen yang baru saja dibuat oleh Kahfi. Gara-gara bangku ini, Gus Syatir menangis sehari semalam, dan hanya bisa ditenangkan oleh Ning Zubaidah saja.
Ia mengaku kehilangan tempat yang seru. Di sana ada satu temannya yang menyenangkan untuk diajak bermain. Mendengar alasan Gus Syatir, satu rumah langsung merinding. Berarti, pohon jambu itu ada penunggunya.
"Akak pasti pernah suka sama akang-akang santri. Tiap hari, kan, rumah Abah selalu kedatangan laki-laki. Apalagi, ada Gus Sajid yang tampan. Terus, ada Kang Kahfi yang menawan," tutur Meutia tak percaya.
"Saya ... " Aya menghentikan kalimatnya. Ia ingin menjawab, bahwa untuk saat ini, dirinya belum memikirkan soal hati. Aya lebih fokus pada caranya bertahan hidup.
Namun, hari ini ulang tahun Meutia. Gadis itu hanya mau merayakan bersama dirinya saja. Sendirian di hari spesial itu tidak enak. Aya sudah dua kali merasakannya. Atau malah hampir setiap hari merasa sendirian.
"Akak Aya mau ngomong apa?" Meutia menoleh.
"Saya punya gebetan," jawab Aya pada akhirnya.
"Beneran?" Meutia terkejut. Ia sampai terbatuk-batuk saking antusiasnya.
"Iya, saya punya satu gebetan yang bisa melakukan segalanya untuk saya."
"Siapa itu?"
"Rahasia."
"Pakon lee rahasia-rahasia? Peugah ju keudeh!"¹
"Han ek!"²
Sesungguhnya, yang Aya maksud itu adalah Allah. Ia tidak mengatakan gebetannya orang atau bukan. Namun, Meutia mengartikannya sebagai laki-laki. Aya sengaja menyebut gebetan, karena saat ini, Aya merasa masih sangat jauh dari Tuhan.
"Aku kasih tahu sama Akak, ya? Dengar baik-baik, kalau nanti gebetan Akak pergi begitu saja, biarkan saja. Jangan dikejar apalagi sampai dicari. Daripada Akak sibuk mencari dia, lebih baik Akak fokus belajar saja. Kan, dia bukan anak kecil. Hilang, ya, sudah. Berarti gak jodoh," papar Meutia panjang lebar.
"Iya."
Ada kalanya Aya merasa sedikit kagum pada Meutia. Ketika orang lain akan mengejeknya dengan mengatakan tak ada laki-laki yang mau menikahinya, Meutia malah memberikan wejangan lucu bila kelak ditinggalkan laki-laki.
Ia terlihat begitu serius dan bersemangat. Tak terlihat kepalsuan dari suaranya. Seolah-olah, Meutia tidak mempermasalahkan latar belakang Aya. Semua orang berhak jatuh cinta, begitu persepsinya.
"Kamu gak bilang, saya gak berhak jatuh cinta?"
Meutia menoleh. "Gak berani. Penilaian atas manusia itu hak Allah. Hanya Allah yang berhak mengatakan pantas atau gak pantasnya perbuatan yang dilakukan oleh seorang manusia. Ngomong-ngomong, bangkunya nyaman. Siapa yang membuatnya?" tanya Meutia sambil bersandar.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not Terrorist [Tamat]
Chick-LitTELAH TERBIT DI PENERBIT LOVRINZ "Jangan mendekat! Ada bom di sini! Tolong, suruh orang-orang menjauh!" Tiga puluh lima detik lagi. Aya sudah menyerah. Mustahil belitan tali tas itu bisa terlepas. Ia akhirnya memilih duduk sembari memejamkan mata...