2. Anak Orang Jahat

89 15 3
                                    

Puluhan pasang mata menatap Aya saat berjalan menuju mobil Alphard hitam. Di sisi kiri, Kiai Ali dari pesantren Tetirah Zikir, Sleman, tersenyum penuh wibawa pada semua orang, sambil sesekali mengangguk sopan.

Pondok yang ia asuh, dikenal sebagai tempat penyembuhan orang-orang yang memiliki masalah mental. Namun, santri dari kalangan biasa pun ada di sana.

Menilik dari masalah Aya, Pak Keuchik kira cocoklah anak itu diantar ke tempat tersebut, bahkan saat melihatnya mau dibawa ke sana Pak Keuchik sempat lega.

Namun, tiba-tiba Aya berhenti. Di kanan dan kiri, barisan manusia menatap penuh ejek secara terang-terangan. Gadis berusia enam belas tahun itu menoleh ke belakang, hatinya gelisah.

Aparat dari satuan brimob masih berjaga. Garis kuning melintang pertanda tak boleh dimasuki sembarang orang. Komandannya menatap Aya, seolah memberikan semangat untuk pergi dari tempat menyakitkan ini.

Aya menunduk sekali, lalu balik badan. Kiai Ali membiarkan saja. Pasti berat meninggalkan segalanya.

Gadis itu berhenti di depan garis kuning. Para brimob yang mengamankan rumahnya hanya berani melirik saja.

Sang komandan terenyuh saat melihat wajah datar Aya menyembunyikan banyak gelombang emosi. Hanya orang berhati bersih yang mampu melihatnya. Aya menyentuh garis polisi dengan hati remuk redam.

"Apa rumah saya akan disita? Atau dibakar warga?"

Pertanyaan tersebut membuat satuan brimob menoleh. Mereka bingung harus menjawab apa, tapi Aya sedang menanti jawaban atas tanya yang baru saja disuarakan.

"Apa rumah saya akan dihancurkan?"

Komandan brimob itu memberi isyarat pada Aya, agar segera pergi mengikuti orang yang menjemputnya. Aya sudah memutuskan, tidak akan pergi sebelum mendapat jawaban.

Kiai Ali menangkap keresahan itu. Ia meminta Ning Amelia-putrinya-menjemput Aya di sana. Namun, gadis yang terpaut usia empat tahun lebih tua dari Aya menggeleng, matanya berkaca-kaca.

"Biarkan sebentar, Abah. Berat untuk Aya meninggalkan kehidupannya," ucap Ning Amelia.

"Abah tunggu di mobil saja. Nanti tolong jemput Aya, ya?"

"Iya, Bah."

Tubuh Kiai Ali yang mulai bungkuk karena usia berjalan menuju Alphard hitam. Aya sudah dipercayakan pada sang putri. Ning Amelia berjalan mendekat saat melihat bahu Aya bergetar.

"Aya, kita berangkat sekarang, ya? Sudah sore. Nanti telat pesawatnya," tegur Ning Amelia lembut.

"Saya harus tahu, nasib rumah bagaimana saat saya gak ada di sini. Akan dibakar atau dihancurkan. Kalau memang dihancurkan, saya harus melihatnya sendiri. Nyo rumoh loen!"¹

"Iya, tapi kita harus segera pergi, Dek."

"Saya gak salah, tapi saya diasingkan," gumam Aya sambil menunduk. "Apa saya yang meledakkan bom itu? Apa saya yang membuat nyawa-nyawa berjatuhan? Bahkan, saat kejadian itu terjadi, saya sedang mengikuti olimpiade."

Keluhan tersebut membuat Ning Amelia terdiam. Ia ikut menatap rumah minimalis di depan.

Beberapa hari yang lalu, sebuah bom meledak di kelenteng dekat pusat perbelanjaan besar. Sebelas korban jiwa dikabarkan hangus terbakar. Melalui rekaman CCTV, aparat keamanan menemukan seorang laki-laki dengan gerak-gerik mencurigakan.

Ia memakai jubah hitam legam serta menyandang tas berwarna sama di bahu kirinya. Di satu titik yang agak ramai, laki-laki itu membuka tasnya dan terjadilah ledakan besar. Kamera CCTV yang selamat membuat si pelaku terdeteksi. Yakni, ayahnya Aya.

I'm Not Terrorist [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang