Dengan langkah lunglai Kahfi berjalan menelusuri lorong. Barusan, ia mampir ke toilet untuk menuntaskan hajat. Pria itu menguap beberapa kali dan hampir oleng kalau tak buru-buru melek.
Beberapa kali Kahfi mengangguk sopan saat berpas-pasan dengan orang yang sama-sama mencari makan. Ada juga suster yang mendorong troli berisi infus dan obat-obat, mungkin hendak mengecek siapa saja yang sudah habis air infusnya.
Ketika hampir sampai di kantin, seorang pasien berpakaian serba putih berjalan cepat. Sepertinya pasien, soalnya menenteng botol infus di tangan. Kahfi kaget dan langsung menampar wajah sendiri. Itu manusia apa bukan?
Ia memperjelas pandangan, tapi pasien perempuan tadi sudah hilang. "Walah, ke mana orang tadi?" Kahfi mengucek-ucek mata. "Kok, hilang?"
"Mas!"
"Astagfirullah!" Ia terlonjak ketika bahunya ditepuk dari belakang. Perempuan tadi berdiri di belakangnya sambil cengar-cengir.
"Mbak, jangan pegang-pegang sembarangan, dong. Memangnya saya ini cowok apaan?" omel Kahfi.
"Maaf, saya cuma mau nanya, Mas. Boleh ndak?"
"Bolehlah, tapi jangan begitu. Ini masih tengah malam. Kalau yang lewat di depan saya bukan manusia, bagaimana?"
Perempuan tadi merasa bersalah. "Maaf, saya ndak ada maksud mengagetkan. Saya cuma mau tanya, kantin di mana?"
Merasa sudah kelewatan, Kahfi mengangguk pelan dan meredakan kekesalannya.
"Ndak apa-apa. Maaf, saya marah-marah. Mbak mau ke kantin, ya? Ikut saya saja, saya juga mau ke sana."
Kahfi berjalan terlebih dahulu. Ia teringat kisah Nabi Musa ketika menolong dua orang perempuan yang sedang bertengkar dengan laki-laki di sumur. Saat hendak kembali, Nabi Musa tidak mau berjalan di belakang para perempuan itu demi menjaga kehormatan mereka berdua.
Maka sekonyong-konyong Kahfi melakukannya sekarang. Berhubung, ia sering mengantar santri yang sakit ke mari, jadi seluk beluk rumah sakit sudah dihafal di luar kepala.
Begitu masuk ke area kantin, hanya ada dua orang laki-laki sedang minum kopi. Kahfi pikir, perempuan tadi bisa mengurus urusannya sendiri. Jadi, dengan cepat ia menghampiri ibu-ibu yang menjaga kantin.
"Mbok, nasinya ada?"
"Ada, Mas. Tinggal nasi goreng saja. Mau?"
"Boleh, deh, dua. Buat sahur saja soalnya. Lauknya telur dadar, Mbok. Sekalian kopi dua. Saya mau lihat-lihat snack dulu."
"Siap, Mas."
Tidak ada camilan menarik. Paling keripik singkong buatan pabrik alias instan. Kahfi mengambil enam, lumayan juga buat mengganjal perut. Ia juga mengambil empat botol air mineral berukuran sedang, dan empat teh botolan.
Setelah itu, ia kembali menunggu nasi dan kopi pesanannya. Kahfi menyempatkan diri melongok sebentar untuk mencari perempuan tadi. Agak aneh juga ada pasien berkeliaran sendiri mencari makanan. Memang tidak ada keluarga?
"Cari siapa, Mas?" Ibu penjaga kantin mengejutkan Kahfi.
"Anu, Mbok. Tadi saya ke mari sama pasien perempuan. Kok, ndak ada, ya? Apa sudah kembali?"
"Perempuan? Saya lihat dari awal Mas masuk, ndak ada perempuan. Masnya datang sendiri."
"Masa, sih, Mbok? Beneran, loh. Saya ketemu di lorong."
"Mas ini bagaimana, sih? Dari awal Mas masuk saya lihat, ndak ada siapa-siapa. Lagian, mana ada pasien dibiarkan pergi-pergi sendiri tengah malam begini. Ada-ada saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not Terrorist [Tamat]
Literatura FemininaTELAH TERBIT DI PENERBIT LOVRINZ "Jangan mendekat! Ada bom di sini! Tolong, suruh orang-orang menjauh!" Tiga puluh lima detik lagi. Aya sudah menyerah. Mustahil belitan tali tas itu bisa terlepas. Ia akhirnya memilih duduk sembari memejamkan mata...