3. Hari Pertama di Tetirah Zikir

69 12 1
                                    

"Ini kamar kamu, Dek. Nanti ada Bunga, Asih sama Meutia yang akan tidur di sini juga. Nah, itu Meutia!"

Ning Amelia menunjuk gadis belia di halaman yang berjalan menuju kamar. Aya menatap ke sekeliling ruangan. Dua tempat tidur bertingkat, empat lemari, satu kamar mandi dan satu meja belajar. Cukup luas. Walau diisi sedikit perobatan. Aya cukup nyaman. Di rumahnya tak ada meja belajar.

"Assalamualaikum, Ning!" Meutia masuk dengan wajah riang.

Matanya berbinar menatap Aya. Usai mencium tangan Ning Amelia, gadis itu juga melakukan hal sama pada Aya. Hanya saja sebelum hidung Meutia menyentuh tangannya, Aya spontan menarik. Ia merasa tak pantas.

Ini adalah pesantren. Kotak perhiasan yang menyimpan banyak sekali permata agar tak berdebu.

Siapalah diri seorang Aya sampai dicium tangannya. Entah berapa banyak debu melekat di tubuhnya. Melihat Meutia yang tersentak, Aya malah buang muka. Tak peduli sekaligus tak mau peduli.

Mulai sekarang hidupnya bukan tentang peduli atau tidak terhadap orang lain. Melainkan mampu bertahan atau justru kalah oleh keadaan.

"Mbak ini siapa namanya? Cantik sekali," ucap Meutia sembari tersenyum lebar.

"Namanya Nur Rafidhah, Meutia. Sebagai santriwati baru di pondok putri, tolong dibantu, ya?" terang Ning Amelia.

"Pasti, Ning. Pasti saya bantu. Duh, senangnya bisa punya teman baru."

"Baiklah, Aya, nanti lemari kamu yang nomor empat. Semua barang-barang kamu masukkan ke sana saja. Maaf, ndak banyak perabotan di sini. Pesantren Tetirah Zikir mengajarkan hidup dalam kesederhanaan. Dengan begitu, maka semua santri dan santriwati akan fokus belajar dengan hati lapang."

Aya memberikan jawaban dengan anggukan saja. Ia telah kehilangan banyak kata sejak tragedi itu membalikkan hidupnya tanpa dinyana.

"Saya akan menjelaskan beberapa peraturan di pesantren. Pokok-pokok pentingnya saja. Yang lain, mungkin bisa diberi tahu Meutia atau yang lainnya." Ning Amelia duduk di atas tepi ranjang. "Semua santriwati harus bangun jam tiga. Sebelum Subuh. Salat tahajud, boleh di kamar atau masjid. Salat Subuh, lalu ndak boleh tidur lagi. Mempersiapkan diri ke sekolah dan sarapan."

Ning Amelia memberi tahu letak ruang makan. Ia menjelaskan bahwa tidak ada menu mewah di pesantren. Semua serba desa, tapi dijamin enak dan sehat. Hal paling penting dari makan adalah menambah energi. Bukan mengenyangkan perut sesuka hati.

Rasulullah menganjurkan umatnya makan sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang. Jika menuruti kehendak hati--makan sampai kenyang--akan mengganggu kegiatan lainnya. Perut jadi sakit. Malas bergerak dan muncul keinginan untuk tidur. Betapa banyak kegiatan berharga yang bisa dilakukan andai tak tidur.

Peraturan selanjutnya, melakukan kegiatan sesuai jadwal. Harus tepat waktu. Ketika diadakan gotong royong, semua wajib ikut. Sarapan, makan siang dan makan malam pun harus tepat waktu. Pesantren tidak menerima komplain makanan habis, apabila itu terjadi karena kesalahan sendiri.

Di utara pondok putri ada bangunan tua. Di sanalah cikal bakal Tetirah Zikir bermula. Awalnya, hanya menangani santri kasus narkoba dan gangguan kejiwaan saja. Sekarang sudah berkembang dan menjadi pondok pesantren yang menerima santri dan santriwati dari berbagai daerah.

Jadi, Tetirah Zikir ada dua bagian. Satu, tempat pengobatan dan satunya lagi, tempat menimba ilmu pengetahuan.

Terakhir, Ning Amelia menjelaskan, sekolah tidak diwajibkan membawa tas, sebab masih dalam kawasan pondok putri. Namun, seragam lengkap harus tetap dikenakan. Di beberapa waktu tertentu akan diadakan pemeriksaan keamanan.

I'm Not Terrorist [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang