Halaman rumah Ning Amelia tampak ramai. Utusan masyarakat datang, untuk mempertanyakan keputusan Kiai Ali menerima Aya. Wajah mereka yang tampak marah, seolah enggan diajak tenang.
Kiai Ali sendiri berdiri tegak di teras rumah. Bila mereka masih bersuara, dirinya akan tetap bungkam. Gus Sajid tampak ketar-ketir di dalam.
Mimi Rosida gusar sekali. Ning Zubaidah--anak pertamanya--sibuk menenangkan hati ummah-nya. Ia juga khawatir pada Kiai Ali. Orang tuanya itu memiliki riwayat hipertensi. Kalau kambuh di tempat, bisa bahaya.
Sesekali, ia merogoh ponsel di saku gamisnya. Ternyata masih belum ada kabar dari Ning Amelia. Adiknya sedang membawa Aya ke rumah sakit.
Seorang pengurus menemukan Aya dalam kondisi memprihatinkan. Tangannya mengalami pendarahan yang cukup banyak, akibat disayat menggunakan pisau dapur yang tajam. Sungguh, lelah sekali hati Ning Zubaidah memikirkan masalah ini.
Sejak Aya datang, rasanya beban semakin menumpuk bak pakaian yang sudah sebulan tidak dicuci.
"Dari awal, Ummah sudah bilang, sebaiknya ditolak saja. Pesantren lain ndak ada yang mau nerima dia. Tapi, Abahmu sangat keras kepala!" ujar Mimi Rosida--panggilan santri padanya.
"Ummah!" Gus Sajid berhenti sejenak. "Maaf kalau Sajid lancang. Sajid rasa, bukan keputusan abah yang salah. Kita sedang diuji. Allah hendak melihat, apakah kita masih mau melakukan kebaikan yang sangat besar pahalanya ini, bila diberikan musibah lewat manusia. Ini ujian, Ummah."
"Ummah paham, Le. Ummah sendiri sayang sekali sama Aya. Tapi, lihatlah abahmu yang sudah tua, Le. Apa mentalnya masih sanggup, menghadapi puluhan orang yang sedang marah?"
"Abah bukan sembarang kiai, Ummah. Seseorang yang sudah dipercayakan oleh Allah untuk membangun pesantren, artinya ada kelebihan di dirinya. Sajid yakin sekali, abah bisa mengatasi ini. Keyakinan Sajid bukan sembarang yakin, Ummah. Tapi, keyakinan ini lahir setelah Sajid menjadi anak Abah dan Ummah!" Perkataan tersebut membuat hati Mimi Rosida agak lega.
Ning Zubaidah tak mau bersuara sebelum adiknya memberi kabar. Selain itu, sejak tadi dirinya berusaha mengirimkan SMS pada suaminya, agar segera pulang. Keadaan sedang kacau.
Ia tidak berani menelepon, tadi suaminya pamit hendak bertemu dengan rekan sejawat di pesantren kecamatan sebelah. Takutnya malah mengganggu. Namun, sudah sepuluh SMS yang dikirimkan, tak ada satu pun yang dibalas.
"Ning, ada kabar dari adikmu?"
"Belum, Ummah. Ning khawatir sama Aya. Sama Amel juga. Kalau orang di rumah sakit ikut mengamuk juga bagaimana? Aya masih riskan diajak ke luar."
"Ya Allah, lindungilah anak-anak hamba!" gumam Mimi Rosida khawatir. "Ummah maunya Aya diobati di rumah saja. Tapi, darahnya ke luar terus. Sampai basah bajunya."
"Ning sudah lihat lukanya, Ummah. Parah sekali. Nadinya hampir putus."
"Berat sekali hidup Mbak Aya," gumam Gus Sajid tanpa sadar.
"Ngomong apa kamu, Gus?" tanya Mimi Rosida spontan. "Ummah melarang kamu menyukai wanita untuk sekarang ini. Sekali pun terlanjur jatuh cinta, boleh sama siapa saja asal jangan Aya!"
"Astagfirullah, maaf, Ummah. Sajid hanya kasihan saja sama Mbak Aya. Sudahlah yatim piatu, korban dari perbuatan ayahnya dan sekarang malah dijadikan target oleh masyarakat."
Tak ada tanggapan lagi. Mimi Rosida tak ingin Gus Sajid mencintai Aya. Gadis itu sangat beresiko. Apa jadinya kalau pengasuh pesantren mengambil menantu dari golongan orang yang dibenci masyarakat.
Pesantren ini milik bersama. Bukan hanya milik keluarga Kiai Ali Musthafa saja. Sebagai keluarga ulama, sudah sepatutnya mencontohkan yang baik-baik.
Harus jelas dari segi nasab. Pun baik dari segi agama, rupa dan harta. Aya sudah dikenal sebagai putri dari seorang teroris. Menerimanya di pesantren saja sudah menimbulkan banyak pergesekan antara pesantren dengan masyarakat. Apalagi, menjadikannya pendamping putra semata wayang Kiai Ali.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not Terrorist [Tamat]
ChickLitTELAH TERBIT DI PENERBIT LOVRINZ "Jangan mendekat! Ada bom di sini! Tolong, suruh orang-orang menjauh!" Tiga puluh lima detik lagi. Aya sudah menyerah. Mustahil belitan tali tas itu bisa terlepas. Ia akhirnya memilih duduk sembari memejamkan mata...