24. Tubuhnya Melayang dengan Ringan

32 11 1
                                    

"Kamu ngomong apa, sih, Dek?" Gus Sajid nyaris terpekik mendengar permintaan Ning Amelia. "Mbok, ya, dipikirkan dulu sebelum berbicara, Dek. Kamu pikir menikah itu satu-satunya jalan? Menikah itu bukan solusi untuk orang yang berputus asa!"

Kiai Ali geleng-geleng kepala melihat putrinya yang kalang kabut karena persoalan Aya. Sampai-sampai ia meminta mas-nya menikahi Aya segala.

Melihat Gus Sajid mulai jengkel, Kiai Ali langsung menenangkan situasi, agar bisa mengobrol dengan kepala dingin. Tidak boleh ada emosi dalam bermusyawarah.

Kahfi semakin dilanda rasa bersalah. Andai saja, ia tidak langsung menerima tamu asing tersebut, pasti mereka tidak akan dilanda kepanikan. Namun, bila tidak diterima, ancaman lebih berbahaya dari itu, pasti sudah datang sejak lama.

Terlebih lagi, menurut Aya mereka datang dari latar belakang kelompok berbahaya. Kahfi jadi pusing luar biasa. Ia tak bisa memberikan usul apa-apa, tapi dirinya pun tidak mau Aya kenapa-kenapa.

"Nduk, menikah itu bukan soal rasa kasihan. Melainkan, menyatukan dua keluarga atas janji di hadapan Allah, ndak boleh main-main."

"Amel ndak main-main, Abah. Amel serius!" Ning Amelia mengusap wajahnya.

"Dek, mana mungkin Mas menikahi Mbak Aya? Kamu jangan mengada-ada. Berpikir jernihlah, kita ndak bisa asal ambil keputusan di situasi seperti ini!" protes Gus Sajid.

"Kenapa ndak mungkin, Mas? Bukannya Mas suka sama Aya? Selama ini, gerak-gerik Mas Sajid mencerminkan perasaan yang Mas pendam untuk Aya."

Perkataan Ning Amelia menyentak kesadaran Kahfi. Walaupun dirinya sudah menerka-nerka hal itu, tetap saja ia merasa terkejut saat mendengarnya langsung dari keluarga terdekat Gus Sajid.

Ia menunduk dalam-dalam. Apakah perasaan yang dirinya miliki, sama dengan perasaan Gus Sajid? Kahfi masih bimbang. Jikalau benar, berarti ia harus bersaing dengan anak dari Kiai Ali. Apabila bukan, maka perasaan jenis apa yang dia miliki?

"Amel, berhentilah khawatir dan berhentilah mengarang cerita! Pikiran kamu harus dijernihkan dulu. Jangan sampai, ucapanmu barusan memunculkan berita yang aneh-aneh ke depannya. Itu ndak baik!" tegas Gus Sajid.

Suasana riuh di luar mengundang perhatian. Gus Sajid yang sempat dilanda kegelisahan akibat perkataan adiknya, berubah jadi penasaran. Ia menatap Kiai Ali, sedangkan Kiai Ali menatap Kahfi. Benak mereka bertanya-tanya.

Tak lama setelah itu, dua orang santriwati berlari tergopoh-gopoh memasuki masjid sampai sandalnya terlempar ke mana-mana.

Melihat ada banyak orang di masjid, kepanikan mereka berganti setengah lega. Dengan takzim mereka duduk menghadap, walau napas masih memburu.

"Ada apa? Kenapa kalian lari-lari kayak mengejar maling?" tegur Kahfi gemas.

Dua santriwati tadi langsung terbungkuk-bungkuk meminta maaf.

"Tolong, Bah, Gus! Tolong, Kang!"

"Tolong kenapa? Tolong apa? Tarik napas dulu, Nduk. Pelan-pelan bicaranya," ucap Kiai Ali memberikan instruksi.

Mereka mengikuti saran Kiai Ali, gemuruh di dada mereka pun berangsur reda. "Ada santriwati yang gelantungan di lantai tiga, Bah."

"Gelantungan bagaimana maksudnya?" sergah Ning Amelia gusar. "Coba bicara yang jelas!"

"Anu, Ning. Ada yang mau jatuh!"

"Astagfirullah, kenapa ndak bilang sejak tadi?" Kiai Ali langsung bangkit dan berjalan terburu-buru.

Gus Sajid, Ning Amelia dan Kahfi mengikuti dengan langkah gusar. Hati sudah kadung khawatir nan resah, tapi mereka tidak berani mendahului Kyai Ali.

Dalam hati, Ning Amelia berharap bukan seseorang yang dekat dengannya. Sedangkan dalam hati Gus Sajid, terang-terangan ia berdoa semoga itu bukan Aya.

I'm Not Terrorist [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang