20. Tamu Tak Diundang

29 7 1
                                    

Salman, kaki tangan Kahfi di seksi keamanan pesantren, tampak berlari-lari sepanjang jalan. Wajahnya berkeringat. Air mukanya terlihat gelisah. Sesekali, santri yang duduk di kelas tiga Aliyah itu melihat ke belakang, seperti khawatir sedang dikuntit seseorang.

"Ada apa, Kang? Apa ada masalah serius?" tanya Aya sembari menatap datar.

"Maaf, sekiranya ndak merepotkan, Mbak Aya ikut saya ke gerbang pesantren. Ada yang mau bertemu."

"Kenapa gak disuruh masuk saja?"

"Gerak geriknya aneh, Mbak. Kang Kahfi yang melarangnya masuk. Waktu saya minta kartu identitas, malah ndak dikasih. Orang itu bersikeras minta dipanggilkan santriwati bernama Nur Rafidhah. Kata Kang Kahfi, itu nama Mbak dan ndak ada santri lain yang mempunyai nama seperti itu," ungkap Salman.

"Apa orang itu gak menyebutkan nama atau dari mana asalnya?" Aya mengernyitkan dahi, perasaannya tidak enak.

"Ndak sama sekali, Mbak."

"Ya sudah, saya ikut."

Mereka berjalan beriringan dengan langkah agak cepat. Sepengetahuan Aya, selama tinggal di pesantren, tidak ada satupun dari sanak saudara yang sudi menjenguknya. Mereka sudah mengharamkan matanya untuk melihat Aya. Semua berawal dari peristiwa yang menimpa keluarganya, yakni pengeboman kelenteng yang dilakukan oleh ayahnya.

"Orang itu benar-benar gak kasih tahu apapun, selain minta bertemu dengan saya?" tanya Aya lagi.

"Wah, ndak ada, Mbak. Saya sudah bilang, lebih baik mereka pulang saja, karena Mbak lagi sibuk, tapi mereka menolak. Saya ndak berani memaksa. Takut, Mbak. Kalau terjadi sesuatu, nanti malah saya yang disalahkan."

"Terus?"

"Katanya mendesak. Orangnya janji ndak akan lama, saya ndak berani menolak terus, Mbak. Harusnya, tadi saya pergi menemui Abah dulu, minta izin, tapi Kang Kahfi bilang, lebih baik saya panggil Mbak Aya saja. Biar urusan mereka selesai, lalu cepat pergi dari sini."

"Perempuan?"

"Laki-laki, Mbak. Badannya tinggi tegap. Saya kalau diketekin, bisa, Mbak."

Sebentar lagi, mereka akan tiba di gerbang kompleks pesantren. Dari kejauhan, Aya bisa melihat beberapa santri putra menjaga gerbang. Padahal, di baliknya hanya ada satu orang saja. Aya mengira-ngira, semenakutkan apa orang yang ingin menjumpainya dan ada perlu apa orang itu datang ke mari?

Tidak mungkin alasannya hanya ingin mengobrol saja. Aya berada jauh dari kampung halamannya. Selama berada di sini, Aya tidak pernah berteman akrab dengan orang luar pesantren. Ia juga tidak menjalin hubungan pertemanan dengan siapapun di tanah perantauan ini. Mustahil bila ada tamu bertandang karena alasan ingin bertemu atau mengobrol.

Salman bergegas memberitahu Kahfi bahwa Aya sudah datang. Lalu, Kahfi meneruskan informasi tersebut pada orang yang sedang menunggu di balik gerbang. Dari bahasa yang digunakan, Aya menebak bukan orang sini, karena mereka berbicara menggunakan Inggris.

Aya memperlambat laju langkahnya. Matanya mencoba mengenali mobil Land Rover putih yang berdiri anggun di belakang laki-laki itu. Barangkali, ada secuil ingatan yang muncul tentang orang yang dikenali dengan kendaraan jenis itu. Namun, nihil. Pikiran Aya tak memberikan memori apapun. Ketika melihat ada siluet orang yang bergerak-gerak di dalam mobil, mata Aya menyipit. Sepertinya di dalam ada orang lain.

"Kang Kahfi!" panggil Aya.

"Mbak, ada orang yang ingin bertemu." Kahfi mengangguk kecil.

"Terima kasih. Biarkan saya bicara dengan orang itu. Mungkin saya kenal."

I'm Not Terrorist [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang