23. Insiden yang Menimpa Aya

29 10 1
                                    

Nyaris seluruh langit di atas Pesantren Tetirah Zikir berwarna merah saga. Angin musim penghujan menyapa dari utara menyentuh ke hati para santri dan santriwati yang merindukan rumahnya.

Angin yang membawa kesejukan, juga memercikkan butir-butir kesedihan. Waktu sore selalu menghadirkan kenangan tentang rumah. Terlebih, saat melihat ratusan kelelawar terbang mencari makan, baik berkelompok, maupun yang memilih terbang sendirian.

Puluhan santriwati hilir mudik memenuhi pelataran kosong di tengah lapangan. Sesekali terdengar tawa riang walau sebenarnya hati sedang gerimis dan menahan kerinduan. Mereka membawa pakaian kering dari jemuran untuk dilipat.

Para santriwati kelas Ibtida dibiarkan bermain sesuka hati. Sedangkan kakak-kakaknya, sibuk beraktivitas seperti biasa. Sementara itu, di ayunan yang tergantung di pohon, Aya duduk berayun sendirian.

Ia masih memikirkan kedatangan Ahmed tempo hari. Hatinya mempertanyakan banyak hal. Kenapa Ahmed datang mencari dirinya? Kenapa setelah bersembunyi di sini pun mereka bisa mengikuti jejaknya? Apakah Pesantren Tetirah Zikir yang telah berdiri puluhan tahun ini terancam tak aman karena kehadiran dirinya?

Baru sekarang Aya merasa gelisah dan pusing tujuh keliling. Rasanya, ia tak rela bila harus mengorbankan kenikmatan menuntut ilmu, yang sedang direguk oleh ratusan santri di sini.

Sekarang, rumah Aya adalah pesantren, keluarga Aya pun hanya ada di pesantren. Ingin rasanya memundurkan waktu, kembali ke beberapa tahun silam, agar Aya bisa mencegah ayahnya dengan amat keras, sebelum benar-benar melenceng dari jalan kebenaran.

Sekarang, semua sudah terjadi. Hidup aman dan nyaman tak dapat Aya rasakan lagi. Ia hanya bisa berpasrah pada keadaan dan tetap memohon pada Allah untuk menambah kekuatan hatinya.

"Assalamualaikum, Aya."

Dari jarak beberapa meter, tampak Ning Amelia kesulitan membawa beberapa kresek putih berlambang minimarket milik pesantren. Aya sigap berlari untuk membantu.

"Waalaikumsalam."

"Dek, bisa tolong bawakan ini ke ruangan sekretariat? Kebanyakan ini. Saya agak susah bawanya," pinta Ning Amelia

"Bisa."

Aya langsung mengambil setengah bawaan Ning Amelia. Lalu, dengan wajah lega, putri sang kiai itu mengajak Aya pergi ke ruang yang dimaksud. Tempatnya ada di dekat masjid serta rumah Kiai Ali.

Sejak tadi, ia sibuk ke sana ke mari mencari Aya. Namun, yang dibutuhkan malah sedang tidak ada. Rupanya, sedang melamun di ayunan.

"Dari tadi saya cariin kamu, tapi ndak ketemu. Untung saya berinisiatif lewat sini." Ning Amelia tersenyum bangga karena instingnya benar.

"Maaf, saya gak tahu ada tugas," sesal Aya.

"Ndak apa-apa, Dek. Ini bukan tugas. Saya hanya minta tolong saja. Kalau kamu ndak ada, saya tetap bisa berusaha sendiri, kok. Hanya saja, lelahnya jadi dua kali lipat," kata Ning Amelia jujur.

"Iya, saya paham."

"Aya, saya mau tanya sesuatu. Apa boleh?"

Aya menebak dalam hati, pasti pertanyaan yang dimaksud itu berkaitan dengan kedatangan Ahmed tempo hari.

"Pesantren kita kedatangan tamu, ya? Saya baru tahu dari Mas Sajid. Katanya, orang-orang itu mencari kamu. Mas Sajid juga bilang, kalau Kang Kahfi melihat tingkah mencurigakan dari mereka. Dek, apa kamu tahu mereka siapa?"

"Saya gak kenal, tapi saya tahu mereka dari mana."

"Syukurlah, berarti mereka bukan orang asing. Apa sudah dibicarakan dengan Abah?"

I'm Not Terrorist [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang