Beberapa yang pergi tak mengenal pulang karena pulang bukan selalu hal yang membahagiakan bagi tiap orang.
Begitu pula dengan perasaan.Sekeras apapun keinginan Mimi Zubaidah menghalau perasaan Gus Sajid terhadap Aya, percuma saja bila cinta telah bersemai dan akarnya merambat ke mana-mana.
Usaha manusia untuk memisahkan anak Adam yang telah jatuh cinta pasti akan sia-sia, karena takdir Tuhan telah ditetapkan di dalamnya.
Gus Sajid yakin Aya adalah jodohnya. Meskipun baru keyakinan, belum sampai pada tahap kebenaran, ia tetap berniat berjuang. Walau pada dasarnya, hanya Allah yang tahu, perempuan mana yang beruntung tercipta dari tulang rusuk Gus Sajid.
Ia pernah mendengar Kiai Ali mengatakan dalam pengajiannya, kalau 50.000 tahun sebelum seseorang diciptakan, sang jodoh sudah ditetapkan.
Maka, daripada sibuk menjaga jodoh yang sudah pasti, Gus Sajid lebih memilih memperbaiki diri dari segi jasmani dan rohani, dan demi mencegah banyak hati yang akan patah, masker pun digunakan olehnya sebagai penutup pesona wajahnya.
Gus Sajid tipikal manusia yang sadar pesona. Ia tahu, dirinya tampan rupawan. Makanya, pemuda berusia dua puluh enam tahun itu gundah, saat ada momen di mana dirinya lupa membawa masker.
Sekarang, Gus Sajid sedang berada di rumah. Ia pulang untuk menyiapkan pakaian Ning Amelia dan Abah. Baginya, memilih pulang sebentar adalah pilihan paling tepat, sebab tidak mungkin mereka melewati malam tanpa berganti pakaian.
Sebenarnya, hatinya tak tenang. Saat dirinya berpamitan, Aya belum sadarkan diri meski seminggu sudah berlalu.
Ketika hampir selesai memasukkan gamis Ning Amelia ke dalam tas bercorak Doraemon, pintu kamar adiknya terbuka. Mimi Rosida masuk dan duduk di samping sang putra.
"Bagaimana kondisi Aya, Gus?" tanya Mimi Rosida lembut.
"Belum ada kepastian, Ummah. Saat Sajid pulang, Aya masih belum sadarkan diri."
Mendengar putranya menyebut nama Aya tanpa embel-embel mbak seperti biasanya, hati Mimi Rosida mulai gundah. "Wajahmu muram, Le. Ada masalah?" Ia menatap putranya dengan penuh kasih.
Gus Sajid merebahkan kepalanya di atas pangkuan sang Ummah. "Sajid ndak apa-apa, Ummah."
"Ummah ndak mungkin salah menerka. Mengandung, melahirkan dan membesarkan Sajid, membuat perasaan Ummah terikat denganmu, Le. Katakan, ada apa?" Tangan Mimi Rosida mengelus kepala putranya dengan lembut.
"Kondisi Aya agak parah, Ummah. Sajid hanya merasa khawatir saja."
"Sajid menaruh hati sama Aya, kah?"
Pertanyaan tersebut membuat Gus Sajid tersentak. Ibarat anak panah yang mengenai sasaran dengan tepat. Ujungnya menancap di tunas merah muda yang sedang berkembang.
"Entahlah, Ummah. Sajid ndak tahu, apa benar ini cinta, atau hanya karena kasihan saja. Di dalam hati Sajid, ada rasa ingin melindungi Aya setiap hari agar dia aman, Ummah. Saat Sajid melihat Aya jatuh di depan mata, rasanya Sajid bodoh sekali karena ndak bisa melakukan apa-apa."
Ya, bukan hanya Ning Amelia yang terngiang-ngiang kejadian sore itu. Gus Sajid pun sama. Perasaan menyesal dan tidak berguna terus menghantuinya.
Namun, sebagai laki-laki, Gus Sajid tidak mau menunjukkan kelemahannya karena adiknya sedang butuh sandaran. Semua rasa yang bercampur aduk tertahan di penjara kesunyian. Ia terus berteriak dalam gua hati gelap nan temaram dan dihajar habis-habisan oleh kebisuan.
Mimi Rosida bertambah khawatir hatinya, lebih besar dari momen di mana dirinya mendengar Aya terjatuh dari lantai tiga. Perasaan Gus Sajid dengan Aya tidak boleh saling bersambut. Ia akan menenggelamkan rasa cinta itu, demi pesantren dan demi masyarakat sekitar.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not Terrorist [Tamat]
Literatura KobiecaTELAH TERBIT DI PENERBIT LOVRINZ "Jangan mendekat! Ada bom di sini! Tolong, suruh orang-orang menjauh!" Tiga puluh lima detik lagi. Aya sudah menyerah. Mustahil belitan tali tas itu bisa terlepas. Ia akhirnya memilih duduk sembari memejamkan mata...