Di sini tempatnya berdiri. Menaungi kasih, asa dan harapan yang tak kunjung datang menepi. Mata itu kian bergerak seiring bertambahnya detik-detik waktu. Seharusnya tangan kiri itu tidak kosong karena harus dihiasi oleh selang infus. Lelaki ini baru saja mencabut selang secara paksa, alhasil kulitnya robek dan mengeluarkan lumayan banyak tetes merah di kasur tadi.
Semua itu tidak Darsa hiraukan, ia hanya ingin berdiri di atas rooftop sembari menikmati sepoi gemilir angin, merasakan sisa-sisa hidupnya yang dokter sebutkan tinggal beberapa hari lagi. Darsa mencengkeram tangan kanannya, kesal sekali ia terhadap diri sebab belum sempat menghadiahi kesembuhan untuk sang kekasih.
Pikiran Darsa tiba-tiba melayang, ke arah ucapan dokter yang disebutkan mendiagnosa sisa umurnya. Untuk apa Darsa menunggu waktu tersebut sementara Darsa bisa mengakhirinya detik ini juga. Bahkan Darsa merasa kehadirannya tidak ada artinya bagi dunia, selain untuk sang kekasih tercinta. Dunia tidak pernah memihak Darsa, selalu saja tersiksa akibat ocehan tak masuk akal dari orang sekitar.
Darsa menaikkan tangan kirinya, menatap dengan lekat pergerakan detik pada jam di sana. Dua puluh detik lagi, maka sesuatu akan terjadi kemudian. Darsa mengembuskan napas panjang, baju khas rumah sakitnya terhembus pelan menerka lusuhnya akibat sudah tiga hari menolak ganti.
Sepuluh... Darsa mulai memijak pinggir pagar pembatas di depannya, tangan Darsa pun mencengkeram agar lebih mudah naik ke atas sana.
"Lima," guman Darsa.
Lelaki tersebut memejamkan kelopak matanya, mencoba mengurangi rasa khawatir berlebih pada sang kekasih yang dipikir bisa mencari lelaki yang lebih darinya.
"Dua ..." Darsa melayangkan kaki sebelah kanan. Tangan yang mencengkeram itu perlahan mulai terulur dengan sendirinya.
"Satu."
Dunia terasa hening sejenak bagi Darsa. Matanya setia terpejam seraya merapalkan harapan tentang kehidupan selepas kematian. Hembusan napasnya mulai tenang, setelah beragam macam kerisauan tentang sesuatu yang akan Darsa tinggalkan.
"Jadi ini hadiah terindah yang kamu maksud?"
Sialan. Suara lembut itu berhasil meluluhkan tangan Darsa untuk melompat dari tebing rumah sakit. Darsa tahu ini tangannya, tapi mereka seolah berpihak pada gadis yang baru tiba smbil membawa tas gitar di belakangnya.
"Kau tidak mendengarkan penampilanku, Darsa." Gadis itu melepas paksa tas gitar tersebut, di lempar ke sembarang arah hingga menimbulkan bunyi bising yang kuat.
"Aku tampil di depan sana, diiringi gitar milikmu dan putaran suaramu, Darsa. Tapi, mengapa kau tidak hadir saat aku terlelah kembali ke rumah sakit?" Si gadis sempat menunjuk gitar yang tadi dilempar, kemudian kini dia berdiri di belakang Darsa, tangan gadis ini mencengkeram kuat dan bergetar.
Jelas terlihat letih sekali wajahnya, keringat di mana-mana dan napas yang memburu kuat. Darsa masih belum menggubris, ia fokus memejamkan mata sambil menghitung waktu yang tepat untuk dirinya terjun hari ini.
"Padahal aku mengharapkan ketika aku masuk kamar tadi, kamu memberi tepuk tangan apresiasi atas penampilanku dan kamu secara tidak langsung." Tangan gadis itu naik seketika, mengambil kerah bagian belakang Darsa meski jaraknya jauh lebih tinggi. "Namun, mengapa kau tidak menepati, Darsa Dharma!"
Brukkk
Tubuh Darsa terpelanting ke belakang akibat tarikan kuat yang dilakukan gadis itu, tanpa aba-aba dirinya membuat Darsa kembali ke tempat perpijakan. Begitu pun dengan si gadis yang tak peduli terhadap terbenturnya tulang milik lelaki berpenyakit.
"Maaf, Fazaira."
KAMU SEDANG MEMBACA
Melodi yang Hilang [Tamat]
Teen FictionJenaka, dia kembali berbohong. Senyumnya tak setulus senyum hari ke belakang. Dia juga menggantungkan nasib terhadap bait yang diciptakan. Jenaka, dia kembali berdusta. Tentang harapan yang tak kunjung tiba membalas perasaannya. Tangan ringkih dia...