15. Pelaku Sesungguhnya

8 2 0
                                    

Ruang kelas siang ini sudah mulai tenang setelah selama beberapa menit diisi oleh keributan yang cukup tidak terkendali. Pertama, akibat kabar Fazaira yang kini resmi menjadi kekasih Darsa, mereka seperti belum bisa menerima dan percaya akan status tersebut. Kedua, tugas kuliah akhir semester yang mengharuskan setiap kelompok membuat sebuah lagu dari salah satu dosen yang cukup galak jika perihal tugas.

Dikarenakan pada jam berikutnya mereka sudah tidak ada jadwal kelas, maka satu persatu orang mulai keluar meninggalkan, entah langsung pulang atau bahkan melipir sejenak ke kantin mungkin tempat lain.

Lelaki yang terduduk di jajaran belakang itu membereskan peralatan kampus untuk dimasukkan ke dalam tas, meski sekarang kabar jahat tentang Darsa seorang pembunuh telah menghilang, tetap saja tidak ada teman yang berteman atau mendekati Darsa, ia masiu dikucilkan.

Beruntung Darsa di kelas sudah memiliki Fazaira, kekasihnya. Mata Darsa terus terkunci pada punggung tegar gadis itu, yang ditatap pun merasa terawasi hingga menoleh ke belakang. Darsa terkekeh, mungkin dirinya lama dan memuat Fazaira memasng raut wajah kesal.

"Ayo, kita pulang," ajak Darsa sembari berdiri dan menghampiri kekasihnya.

Fazaira setia menempel terduduk di kursi, kini memasang wajah memelas ingin dimanja. Darsa sendiri merasa gemas dengan sikap Fazaira, tangannya lalu menyingkapkan helai rambut Fazaira untuk diselipkan ke belakang telinga.

Namun, ada sesuatu yang membuatnya salah fokus. Leher Fazaira. Ada luka lebam keunguan yang cukup besar.

Menyadari Darsa melihat lukanya, buru-buru gadis itu menutup kembali dengan rambut panjang. Kemudian berdiri seolah tidak terjadi apa-apa, Fazaira menyembunyikan sesuatu dari Darsa.

"Dipukul lagi?"

Fazaira menggeleng. Ia hanya tidak ingin kekasihnya merasa khawatir berlebih kepadanya, tidak baik jika harus mengungkapkan luka di depan orang yang tengah terluka. Beberapa hari lalu, Darsa baru saja mengeluh tentang pekerjaan sebagai pemusik. Pemilik kafe tempat Darsa menampilkan suara memarahi bandnya, beliau tidak setuju dengan keputusan pembubaran itu. Dikarenakan semenjak band milik Darsa tidak tampil, kafe tersebut menjadi cukup sepi serta jarang dikunjungi.

Darsa hingga hari ini berkata kepada Fazaira, bahwa dirinya tengah bimbang, apakah harus membatalkan keputusan bubar, atau mungkin tampil sendirian dengan menunjukkan wajah asli, atau lebih baik berusaha tidak peduli. Maka dari itu Fazaira takut harus melimpahkan rasa sakitnya.

"Ditanya, gak dijawab."

Dingin rasanya sepanjang lorong kampus ini, belum ada yang memulai pembicaraan kembali. Darsa sesekali mencolek pinggang Fazaira untuk memancing emosi yang menggemaskan, terlebih Darsa tahu bahwa minggu ini Fazaira sedang masuk ke dalam masa datang bulan.

Lelaki itu mencoba mensejajarkan langkahnya agar bisa melihat wajah Fazaira, senyum gadis itu tidak memunculkan tanda-tanda, aneh sekali menutur Darsa. Beberapa kali ia kembali berusaha melontarkan pertanyaan terkait ada apa dengan Fazaira, namun yang ditanya tak kunjung menjawab.

Hingga langkah Darsa mendadak berhenti, membuat ia tertinggal sedikit jauh di belakang Fazaira yang masih terus saja berjalan. Menyadari kekasihnya tak lagi di samping, Fazaira pun menoleh.

"Aku tidak bisa menjadi tempat cerita yang baik untukmu, ya? Maaf, aku memang kurang memuaskan." Darsa mulai mempertipis jarak dengan kekasihnya. Lorong kampus terasa hanya milik mereka berdua, tidak ada satu orang pun yang melintas.

"Tapi sungguh, aku hanya tidak ingin kamu memendam luka sendirian," lanjut Darsa seraya menggenggam tangan gadisnya. "Kau sendiri yang siap sedia untuk menerimaku dengan keadaan seperti ini, dan kamu pun berani untuk memulai hubungan dengan kondisi demikian."

Melodi yang Hilang [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang