Epilog - Thank U For Being Born

17 2 0
                                    

Hembusan angin menyapa seorang gadis yang tengah berdiri di atas rooftop pada sebuah rumah sakit. Ia tidak berdiri seperti berposisi ingin menjatuhkan diri, gadis itu masih sadar. Tas besar yang berisi gitar pemberian kekasihnya perlahan diturunkan. Fazaira melirik kedua tangan, permukaan kulit jemarinya mulai mengelupas akibat gesekan pada senar gitar.

Tapi tak masalah. Sebesar apa pun usaha Fazaira untuk mempelajari alat musik itu tidak pernah ia permasalahkan, selagi gitar yang dimainkan adalah milik kekasih tercintanya. 

Sejenak Fazaira mengembuskan napas panjang, membiarkan udara menuju siang ini masuk mengisi paru-parunya. Setelah menampilkan banyak sekali lagu di depan umum pada acara di suatu kafe yang baru buka cabang, Fazaira lumayan kehilangan banyak sekali oksigen. Ia tidak sempat meneguk air minum, dahaga tidak akan menghilangkan kerinduannya kepada sang kekasih.

Lagu-lagu yang ia bawakan selalu membuat hati Fazaira sesak, menggiring tangisan yang tak pernah berujung kebahagiaan. Jujur Fazaira kerap merasa lelah jika harus rindu dengan kekasihnya, ia hanya bisa menangis sembari menyanyikan lagu ciptaan sang kekasih.

Fazaira meletakkan gitar pemberian kekasihnya yang telah tiada, kemudian maju menuju tembok pembatas rooftop. Tempat di mana ia menemukan sang kekasih berdiri tegap di atas sana.

"Andai saja aku tidak terlambat datang, mungkin kita masih bisa berpelukan, Darsa."

Fazaira menelungkupkan kepala di antara tangan. "Namun, kuyakin kau sudah jauh lebih bahagia, bukan?"

Fazaira tersenyum indah, matanya melengkung memandang birunya langit hari ini, seperti mengharuskan ia untuk tetap tersenyum dan bahagia. Fazaira memberi pesan kepada langit untuk menyampaikan ini kepada kekasihnya: bahwa ia baru saja tampil kembali di depan umum.

"Terima kasih telah lahir dan bertahan sejauh ini."

Fazaira kemudian mampu mengukir senyum selepas berkata demikian, seakan sang kekasih tiba-tiba hadir menyapanya untuk memberi salam yang terakhir. Sesak di dada membuat Fazaira semakin gelagapan, rasanya ingin cepat-cepat menyusul kekasihnya. Akan tetapi, Fazaira tahu pasti jika langkah itu sangat salah untuk kembali bersama kekasihnya, ia masih setia menunggu waktu yang tepat.

Fazaira tidak akan pulang sebelum dijemput.

Dari arah belakang, Fazaira dapat merasakan kedatangan dua orang menghampirinya. Berjenis kelamin perempuan, berpakaian putih, sedikit pendek dan terdengar halus derap langkahnya.

"Faza, sayang."

Panggilan tersebut menarik perhatian Fazaira. Ia membuyarkan tatapan dari biru langit. Selepas itu Fazaira memandang satu persatu dari kedua wanita di hadapannya.

"Ayo, kita kembali ke kamarmu. Kamu bilang ingin menyanyikan aku sebuah lagu sepulang dari penampilan di kafe," lanjut salah seorang wanita yang sedikit lebih tinggi.

Fazaira tertawa, ia mengambil uluran tangan wanita itu, sementara yang satunya menyambar gitar yang wanita sedikit mungil sebelahnya berikan.

"Ayo! Tapi, Suster ... tenggorokan Faza sedikit kering, nanti Faza mau minum dulu, ya?"

"Tentu saja. Apa yang nggak buat kamu, Fazaira."

Fazaira tersenyum tulus. Derap langkahnya tampak semangat memapah menuruni anak tangga, meninggalkan tempat yang menjadi tempat terakhir kali Fazaira bertemu dengan Darsa. Di mana dirinya terlambat menarik Darsa, di saat ia kalah telak dengan niatan Darsa untuk mengambil ujung ceritanya. Fazaira tidak mau kembali ke tempat itu, namun hanya di tempat itu memorinya bersama Darsa bisa berputar kembali setelah sering kali menghilang dalam kepala.

–【Melodi yang Hilang】–

Halo, aku Fazaira. Seorang penyintas bipolar yang memiliki kekasih penyandang skizofrenia. Aku sakit, kekasihku juga sakit. Tapi hubungan kami bukan penyakit mematikan. Kekasihku sudah lebih dulu mengakhiri ceritanya. Selayak pahlawan yang telah berperang, dia butuh istirahat agar bisa mengembalikan energinya. Sayang, kekuatannya cukup banyak terkuras sehingga aku tidak berani untuk menggubrisnya.

Aku menyukai melodi yang dia ciptakan, semua terus berputar dalam kepalaku seiring bertambahnya waktu. Namun, melodiku sekarang telah hilang. Tertelan oleh akal yang tak kunjung memberi pengertian.

Kepada semesta, aku ingin pulang.
Tolong jemput aku di waktu yang tepat.

T A M A T

T A M A T

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Melodi yang Hilang [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang