Keramaian masih terjadi di lantai bawah rumah Fazaira, banyak wartawan maupun warga lokal berdatangan untuk mencari sumber dan ketetangan tentang yang terjadi sebenarnya. Hendra sudah dibawa oleh pihak berwajib, meski harus melipir terlebih dahulu ke rumah sakit menggunakan ambulan karena sebelah kakinya dikabarkan patah.
Sementara di lantai kedua Fazaira fokus mengobati luka kekasihnya di kamar, dengan tangan dingin dan bergetar. Wajah Darsa masih menegang, setengah marah, meski sudah tidak semarah yang sebelumnya. Kehadiran Rega yang berdiri di belakang pintu kamar mungkin menjadi alasan amarah Darsa sedikit meredam.
Setelah perban putih itu bertangkai sempurna di dahi Darsa, Fazaira bangkit berdiri untuk membereskan perlengkapan P3K-nya. Membiarkan Darsa menghilangkan amarah, duduk di atas kursi sembari menatap keluar jendela dengan pandangan kosong.
"Setelah ini mau bagaimana?" tanya Rega dengan intonasi sangat kecil.
Fazaira menoleh ke sumber suara, setelah itu menatap punggung Darsa dengan seksama. Ia mengembuskan napas gusar, jujur Fazaira pun sangat bingung untuk membuat pilihan.
"Entahlah. Aku hanya ikuti alur," ujar Fazaira lunglai, setelah itu menatap Rega yang setia di tempatnya. "Rupanya aku adalah anak dari pelaku yang membunuh semestanya Darsa, bisa dikatakan menghancurkan kehidupan dia."
"Jika begitu, demi kebaikan Darsa ...," Fazaira menggantung kalimatnya, seolah siap tak siap untuk membuat keputusan yang menurutnya terbaik ini.
" ... maka akan aku akhiri hubungan ini."
"Jangan semudah itu membuat keputusan," celetuk Darsa mengejutkan diri kekasihnya.
Darsa beranjak menghampiri Fazaira dengan perlahan, tatapan yang awalnya penuh amarah itu sudah berubah menjadi sendu. Darsa tidak menyangka akhir dari jawabannya akan seperti ini, artinya Darsa hanya menangisi hubungannya juga rasa syukur atas terkuak pelaku sebenarnya.
Kini jarak antara Darsa dan Fazaira sudah sangat tipis. Wajah Darsa ingin sekali Fazaira raba untuk mengurangi kesedihan dalam hatinya, namun gadis itu masih terlalu takut.
"Aku memilihmu untuk mendampingiku dengan segala latar belakang apa pun yang kamu miliki. Pembunuhnya adalah ayah kamu, bukan kamu, Faz. Terlebih setelah aku mengetahui pasti bahwa kamu adalah korban juga, itu menyurutkan pemikiran aku yang menduga kalau keluarga pelaku jahat."
Tangisan Darsa kembali pecah tatkala melihat bulir air mata yang mulai menggenang di ujung kelopak Fazaira, ia langsung menghapusnya. "Jangan menangis, kamu harus kuat."
Fazaira menggeleng dan tertunduk, hingga akhirnya menyembunyikan wajah pada dada bidang Darsa. Lelaki itu sigap mengusap kepala Fazaira.
"Aku bingung harus apa, Faza. Aku tidak punya siapa-siapa, tidak ada rumah tempatku untuk pulang. Dan kamu jangan mendambah-nambahkan agar aku kembali sendiri, Faz!" Nada akhirnya sedikit tinggi, membuat Fazaira ikut hancur menangis histeris.
"Aku bahagia bersamamu, aku ingin kau tahu bahwa aku senang memilikimu. Tolong, jangan tinggalkan aku dengan alasan apa pun. Jangan," lanjut Darsa hingga parau suaranya.
Ini bukan waktu yang tepat untuk kehadiran Rega, lelaki itu memutuskan keluar dari kamar. Membiarkan dua sejoli menangis sepuas mungkin hingga matanya membengkak kemungkinan.
–【Melodi yang Hilang】–
Gelapnya malam sudah memunculkan bintangnya. Udara pun menyerbu masuk melalui jendela yang belum ditutup sedari siang tadi, tidak peduli dinginnya malam ini akan membuat tubuh sakit setelah itu. Jam di dinding telah menunjukkan nyaris pukul sebelas, sementara Darsa dan Fazaira masih setia terduduk di tepi kasur seraya melihat langit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melodi yang Hilang [Tamat]
Teen FictionJenaka, dia kembali berbohong. Senyumnya tak setulus senyum hari ke belakang. Dia juga menggantungkan nasib terhadap bait yang diciptakan. Jenaka, dia kembali berdusta. Tentang harapan yang tak kunjung tiba membalas perasaannya. Tangan ringkih dia...