3. Halusinasi yang Indah

48 43 76
                                    

Napas Darsa memburu kencang tatkala batuk menyerangnya hingga mrmbuat tidur nyenyak lelaki itu terusik di tengah malam, terlebih ada bercak darah yang keluar dari mulutnya sehingga memenuhi telapak tangan. Darsa membersihkannya menggunakan tisu yang berada tak jauh dari tubuhnya terbaring.

Ruangan kamar Darsa begitu pengap, padahal tidak banyak barang yang menempati kamar tersebut, bahkan sampah atay barang random saja sama sekali tidak berserakan. Pendingin ruangan juga masih menyala meski Darsa sempat menurunkan suhunya ketika sudah mulai kedinginan, namun entah dari mana rasa pengap tersebut ditimbulkan. Pemilik kamar itu masih merasa nyaman terbaring di atas ranjang walau sesak di dada sedang menyerang.

Hari sudah menjadi malam, terlihat ketika Darsa menolehkan kepalanya ke arah jendela dan kebetulan tirainya belum ditutup. Tapi Darsa hingga kini belum bisa beranjak dari tempat tidurnya semenjak dua hari lalu tak sadarkan diri di kampus. Panas tubuh Darsa terus saja naik turun, bahkan ia beristirahat di kasur seperti ini saja masih sesekali susah untuk dibangunkan.

Darsa perlahan mendudukkan tubuhnya, membenahi bantal agar punggungnya tidak merasa kesakitan. Mata Darsa terus terkunci pada jendela tadi sembari membayangkan betapa indahnya bila Darsa menjadi sebuah bintang, terbebas dari penyakit atau masalah dan hanya berkelap-kelip di atas langit.

Ketukan pintu membuat lamunan Darsa membuyar. Orang tak waras mana yang bertamu pada tengah malam seperti ini, Darsa sangat malas untuk membukanya. Ia juga belum memiliki kuasa penuh di bagian kaki untuk melangkah ke sana, ketika berusaha duduk saja rasa pening langsung menyerang seperti hantaman sebuah pukulan.

"Darsa? Gue masuk, ya."

Tenang hati Darsa ketika menyadari ketukan tersebut bukan dari orang jahat, melainkan seorang lelaki yang telah membantu hidupnya selama ini. Meski Darsa hidup seorang diri, tanpa keluarga atau teman sedikitpun, Darsa tidak pernah merasa kesepian jika ada lelaki ini dalam hidupnya.

"Kan, bener dugaan gue. Lo bangun lagi jam segini, untung kali ini gue datang di waktu yang tepat." Lelaki itu menyimpan plastik hitam bawaannya di atas meja.

Alis Darsa bertaut tidak mengerti. Ucapan kawannya mengumpamakan bahwa Darsa pernah melakukan suatu hal yang tidak diinginkan kemarin hari, dan ia tak sempat mencegah hal tersebut.

"Emangnya, kemarin malem gue kenapa?"

Lelaki itu tercengang mendengar pertanyaan tersebut, tidak mungkin menurutnya Darsa melupakan sesuatu yang secara sadar telah dilakukan. Rega namanya, Arrega Pratama. Ia menyalakan saklar lampu setelah menutup gorden jendela, tidak peduli jika Darsa protes tidak bisa melihat bintang lagi.

"Gue dateng, lo udah nemplok di pager rooftop, Dar."

Cukup terkejut untuk Darsa, ia betul-betul tidak menyadari sudah terbangun tengah malam dan mencoba melakukan aksi seperti itu. Darsa mengira bahwa suhu tubuh yang panas membuat tidurnya cukup lelap tidak terusik hingga bangun di kemudian hari.

Kini Rega terduduk di tepi kasur Darsa, punggung tangan ia tempelkan pada kening kawannya untuk memeriksa suhu kali ini.

"Panasnya udah turun, ya," tutur Rega memberitahu.

Sebungkus obat dikeluarkan dari pelastik yang tadi Rega bawakan untuk Darsa. Walaupun Darsa meminta sedari siang, tapi Rega baru sempat melipir ke apartemen Rega malam ini. Rega sibuk bekerja, terlebih ia merupakan anak kuliah semester akhir di jurusan musiknya.

"Ga ... Fazaira, dia di mana? Sejak gue pingsan, dia belum jenguk gue, bahkan pesan gue juga cuman dibaca aja sama dia. Agaknya kenapa, ya? Gue kayaknya nggak buat salah deh sama dia."

Rega menatap wajah Darsa cukup lama, antara takut jika ia salah mendengar atau memang tidak percaya jika Darsa baru saja menanyakan hal tak masuk akal. Semua pikiran ingin mengejek Darsa dialihkan kepada kondisi lelaki itu yang tengah sakit, mungkin Darsa sedang melantur pikir Rega.

"Istirahat, Dar. Nanti kalau udah sembuh, lo pasti ketemu sama Fazaira."

Darsa menunduk lesu. "Padahal waktu gue dirawat di rumah sakit, dia nemenin gue. Bahkan kemarin kita sempet main ke Batalyan Kafe, terus ketemu sama kalian, kan?"

Senyum kecil terpatri pada wajah Rega, ia mengulurkan tangan untuk mengusap pundak kawannya secara perlahan. Miris, sebuah kata yang bisa Rega gambarkan tentang perasaan Darsa kali ini.

"Tidur ya, Dar? Udah jam satu malem. Besok pagi lo bakal nemu jawabannya kok." Rega bangkit berdiri sembari membenahi posisi Darsa agar berbaring sepenuhnya, selimut pun dibenarkan supaya Darsa tidak merasa kedinginan.

"Malem ini gue lagi yang jaga. Lo jangan ngerasa takut, ya, tidur yang nyenyak."

Rega selalu menganggap Darsa seperti anak sediri, kebetulan usianya memang sudah cukup untuk memiliki anak. Hanya saja jodohnya belum kunjung menampakkan diri untuk dipersunting oleh Rega. Sementara Rega selalu memperlakukan Darsa selayaknya anak kecil, terlebih Darsa seringkali menunjukkan sifat kekanakan. Jarak usia mereka terpaut delapan tahun.

[Melodi yang Hilang]—

Pagi ini Darsa terbangun akibat aroma nasi goreng yang melintasi lubang hidungnya, sangat nikmat dan menggungah selera perut Darsa yang telah mati selama dua hari. Makadari itu, Darsa membuka kedua mata dengan semangat yang baru.

Darsa memunculkan sedikit kepalanya pada pintu dapur, berhadap lelaki yang tengah memasak itu sadar dengan sendirinya kehadiran Darsa di sana. Jika dipanggil, Darsa takut akan mengganggu atau bisa jadi menyakiti Rega karena tengah fokus memasak.

"Ke air dulu, Dar. Mandi, habis itu siap-siap."

Senyum kecil pun tergambar di wajah Darsa, meski sempat dirinya terheran karena Rega sadar tanpa menoleh sedikitpun. Mungkin saja deru napas yang kecil milik Darsa sudah bisa terdengar di pedengaran Rega.

Kebetulan semalam Darsa sudah bilang kepada Rega, hari ini ingin berangkat ke kampus lebih pagi, untuk menutupi rasa bersalah akibat bolos dua hari terakhir. Awalnya Rega melarang Darsa kembali ke kampus, tapi Darsa terus saja meyakini jika besok akan baik-baik saja.

Darsa sudah bisa membuktikan di pagi hari ini, kegesitannya mempersiapkan diri sangat terlihat jelas oleh Rega. Darsa dipastikan sehat jika langkahnya sudah cepat, juga waktu persiapan yang begitu singkat.

Pantulan tubuh dari cermin di depan membuatnya tersadar tentang pertanyaan semalam, si gadis yang Darsa cintai sepenuh hati. Darsa perhatikan seluk-beluk penampilannya dari ujung rambut hingga ujung kaki, tak lama ia mengalihkan pandangan pada dinding kamar yang kosong tidak tertempel apa pun.

Darsa mengembuskan napas panjang. "Lagi-lagi cuman imajinasi."

Semuanya bohong. Perihal kejadian di rumah sakit, bermesraan di kafe, semua itu bukan kejadian nyata. Darsa telah menyadari bahwa alam bawah sadar yang menjadi keinginan Darsa baru saja mengambil alih, mereka seenak hati membuat Darsa bahagia hanya dengan cara seolah-olah Darsa telah memiliki pujaan hatinya.

Akan tetapi, tidak bisa Darsa pungkiri jika kambuhnya penyakit mental kali ini adalah yang terindah daripada yang terindah lainnya. Darsa setidaknya bisa merasakan tentang kasih sayang dari pujaan hati, melupakan sejenak tentang masalah-masalah yang menumpuk ingin diselesaikan.

"Fazaira mana mau pacaran sama cowok berkasus kayak gue," gusar Darsa sembari menarik tas ranselnya sedikit kesal.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Melodi yang Hilang [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang