"Dan hari ini, sang musisi bayangan itu telah tiada."
Darsa tersedak akibat kalimat yang dilontarkan kekasihnya barusan. Mata Darsa juga langsung melirik tajam kepada tangan cantik yang bergerak untuk memasuki kalimat dari kepala menuju layar—mengetik di laptop. Lelaki itu menyimpan cangkir kopi pada tempatnya, lalu mendekati tubuhnya ke layar laptop untuk memastikan jika apa yang dikatakan Fazaira betul dimasukkan ke dalam artikel yang gadis itu sedang susun.
"Kalau telah tiada, berarti udah meninggal dong?"
Alis Fazaira bertaut marah, ia juga memukul bahu Darsa yang jelas-jelas baru selang lima jam keluar dari rumah sakit. "IH! NGGA! Kamu masih ada di sebelahku, selalu di sebelahku!"
Darss terkekeh ringan mendengar amarah Fazaira. Tanpa merasa kesakitan, justru Darsa malah menampilkan raut wajah kegemasan. "Lagian suruh siapa nulis kayak gitu? Ganti coba kalimatnya."
Fazaira kembali mengalihkan perhatian. Kini matanya menyebar ke segala arah dan sudut Batalyan Kafe, terutama pada panggung yang sudah lama tidak diisi band milik Darsa. Banyak sekali kenangan yang tersimpan di tempat itu, banyak pula pengalaman yang membuat hati Fazaira terkejut. Terutama saat bagian pertama kali Fazaira mengetahui bahwa Jenaka itu adalah Darsa.
Beberapa alat musik seperti gitar, bass, drum, dan keyboard mulai berdebu, meski pegawai kafe sudah menutupinya dengan selembar kain besar di setiap alat. Hal ini dikarenakan sebulan terakhir band Darsa—yang hingga kini belum ditemukan namanya—tidak kunjung tampil untuk menghibur. Pertama, Darsa si vokalis yang mereka andalkan jatuh sakit, sementara empat anggota lain katanya sedang mengejar skripsi. Mereka berempat jauh lebih senior ketimbang Darsa yang masih berada di semester tiga.
"Oh, jadi gini: sang musisi bayangan itu telah melawan rasa takutnya untuk tampil di depan umum. Gimana?" Sembari menghapus kemudian mengetik ulang kalimat yang Fazaira ucapkan, gadis itu sesekali melirik Darsa untuk menangkap raut wajahnya.
Darsa tersenyum kecil. Tangannya bergerak mengusap pucuk kepala Fazaira. "Better daripada yang tadi lah."
"Ih, kalau nggak setuju bilang."
Lelaki itu terdiam, mendekatkan wajah hingga mata mereka hanya berjarak sepuluh senti saja. Darsa bisa melihat pergerakan mata kekasihnya, disertai senyum manis akibat terpana melihat kecantikan yang dimiliki Fazaira.
"Tulis aja yang tadi, Sayang. Aku nggak mau bikin kamu pusing mikirin kalimat lain." Darsa menyelipkan rambut Fazaira ke daun telinga pemiliknya.
Satu bulan penuh Darsa melawan penyakitnya yang kambuh-sembuh terus menerus, dalam artian kadang sembuh dan beberapa jam kemudian kambuh kembali. Dua minggu rawat di rumah, dua minggu pula harus mendapatkan opname di rumah sakit. Awalnya Darsa enggan menerima perawatan di tempat itu, baginya perawatan Fazaira saja dudah sangat cukup. Tapi nyatanya Darsa tidak kunjung sembuh.
Namun, sekarang gadis itu sudah merasa lega karena dokter telah memperbolehkan Darsa pulang. Sakit itu sudah pergi dari tubuh Darsa, kata dokter. Meski mereka harus tetap terjaga agar Darsa tidak terlalu kelelahan.
Tepat dua tahun lalu di hari ini, seorang Jenaka bersama kawan-kawannya memperlihatkan wajah asli kepada awak media atau pengunjung kafe yang memang hadir di kala hari itu. Kali pertama Fazaira melihat Darsa—yang ia kenal sebagai pembunuh—rupanya penuh bakat dalam bidang seni musik, semenjak saat itu Fazaira tertarik dalam artian ingin mengenal lebih dalam tentang Darsa sebagai teman.
Panjang sekali prosesnya bagi mereka untuk menjalin pertemanan, hingga akhirnya resmi bercumbu asmara setelah kurun waktu dua tahun tersebut. Fazaira yang sempat mengajukan penggungatan aksi kriminalitas kepada Darsa, dan juga Darsa yang menyukai serta mulai memberi kode tapi ditolak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melodi yang Hilang [Tamat]
Ficção AdolescenteJenaka, dia kembali berbohong. Senyumnya tak setulus senyum hari ke belakang. Dia juga menggantungkan nasib terhadap bait yang diciptakan. Jenaka, dia kembali berdusta. Tentang harapan yang tak kunjung tiba membalas perasaannya. Tangan ringkih dia...