Gedung Fakultas Seni dan Pertunjukkan hari ini begitu sepi. Entah karna Darma datang terlalu pagi, atau memang teman-temannya sudah berada di dalam suatu ruangan. Tapi, pastinya Darma kebingungan sebab di grup kelasnya tidak ada informasi mengenai kehadiran teman-teman.
"Perasaan kuota gue gak habis, kok grup chat sepi amat," gumam Darsa mendengkus kesal. Ia membaca kembali pesan terakhir—yang rupanya membicarakan tentang acara teater—dari rekan kampusnya.
Darsa tidak mempedulikan anak tangga yang sedang ia pijak, bahkan jika harus terjatuh sekalipun. Matanya masih setia memandang layar gawai dengan tangan yang mengotak-atik papan huruf untuk merangkai kata
'Bangg, ini gedung emang lagi ditutup apa begimana, dah? Sepi amat'
Pesan tersebut sukses dikirimkan kepada Pradika, Darsa selalu menduga jika Pradika adalah temannya yang paling tidak pernah lambat membalas pesan. Meski jarak tempuhan semester mereka sangatlah jauh, Darsa yakin Pradika sudah lebih tahu informasi terbaru. Secara Pradika adalah anak dari salah satu direktur kampus yang berkuliah juga di sana, kebetulan ayahnya menaungi gedung fakultas seni, bisa saja ayahnya mengetahui bilamana gedung sedang ditutup untuk sebuah keperluan.
Bang Pradika
| Gedung? Gedung apaan?
Fakultas gue |
| Oh, setau gue sih, nggak Dar
Tapi sepi, Bang |
| Lagian lu ngapain sih chat gue?
| Tanya temen lu kek
| Siapa tau diundur pertemuannya——————
Darsa mengembuskan napas kasar sembari memutar bola matanya, malas sekali jika Pradika sudah melupakan bahwa Darsa tidak memiliki teman di kampus. Pradika bisa dibilang satu-satunya kawan dari keempat sahabat Darsa yang selalu menyuruh untuk berinteraksi dengan teman sekelas.
Lebih baik Darsa mencaritahu informasi sendiri ketimbang menurunkam gengsi untuk bertanya di grup kelas, Darsa menyakukan ponsel pada celananya. Langkah Darsa baru kali ini fokus menatapi anak tangga, tidak berani mengangkat kepala karena takut berpapasan dengan orang-orang. Seingat Darsa, informasi terakhir menyuruh semua orang berkumpul pada ruang teater lantai lima, dan sekarang Darsa baru menginjak lantai dua.
Tap... tap!
Jantung Darsa mencelos ketika mendengar langkah seseorang di belakangnya, ia tidak mau memeriksa ke belakang. Bukan apa-apa, Darsa kalau tidak takut jika orang tersebut akan menyerangnya, paling tidak Darsa grogi akan berpapasan dengan perempuan yang disukainya.
Pikiran Darsa menjadi gundah gulana, lelaki itu kebingungan harus menepi dan memberikan orang tersebut jalan duluan atau mempercepat langkahnya.
Darsa mengacak-acak rambutnya frustrasi. "Ahh! Sialan, gini aja harus ada pergolakan batin segala," kesal lelaki itu sebelum akhirnya memutuskan untuk menepi pada salah satu anak tangga.
Darsa memposisikan wajahnya menghadap tembok agar ia tidak bisa melihat orang yang berlalu, begitupun orang itu tidak akan menyadari kehadiran Darsa.
"Mas?"
Tubuh Darsa langsung membeku tatkala mendengar panggilan lembut itu, apalagi tangan kecil baru saja menyentuh pundak Darsa secara halus. Darsa tahu ini suara siapa, dan Darsa berharap sekarang juga dirinya bisa menghilang dari tempat tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melodi yang Hilang [Tamat]
Fiksi RemajaJenaka, dia kembali berbohong. Senyumnya tak setulus senyum hari ke belakang. Dia juga menggantungkan nasib terhadap bait yang diciptakan. Jenaka, dia kembali berdusta. Tentang harapan yang tak kunjung tiba membalas perasaannya. Tangan ringkih dia...