1. Pulang dan Rumah

51 23 61
                                    

-2023

"Dia sudah terbaring kembali di ranjangnya, tenang saja." Fazaira kemudian menutup panggilan yang disalurkan melalui telepon genggam.

Mata berbulu lentik itu terus terbentang indah, memandangi jalanan depan rumah sakit yang dihadirkan melalui jendela kamar ini. Fazaira mengembuskan napas panjang, jiwanya masih berada di ambang kejutan. Meski saat menangani tadi, Fazaira sebisa mungkin untuk bersikap tenang.

Tarikan napas juga dilakukan oleh lelaki yang Fazaira sebutkan tengah berbaring di belakangnya, mungkin pertanda bosan atau semacamnya. Fazaira yakin, lelaki itu sedang berpikir keras atas tindakan yang paling dibenci kekasihnya.

Percobaan bunuh diri.

"Sudah selesai, ya."

Fazaira terlalut dalam percakapan di ponsel, sampai terlupa akan kehadiran dokter juga suster yang sedang memeriksa Darsa, memakaikan kembali selang infusan di tangannya. Gadis itu mengingat lagi percakapan beberapa detik sebelumnya; hanya membicarakan tindakan Darsa yang membuat jantung Fazaira mencelos. Fazaira yakin penuh tidak ada satu pun hal mencurigakan terlontar dari mulutnya.

Kini mata indah Fazaira beralih setelah membalik tubuh menghadap ke arah belakang, kepada sang dokter yang sedang memegang pundak kekasihnya. Ada beberapa kalimat yang tersampaikan untuk Darsa, kemungkinan sebagai penenang agar Darsa tidak melakukan hal yang sama di lain waktu, namun entah kenapa Fazaira tidak dapat mendengar ucapan si dokter lanjut usia itu.

Fazaira terhanyut ke dalam tatapan Darsa; begitu kosong, tapi berupaya agar berseri indah. Selalu saja begitu. Kantung mata Darsa juga semakin terlihat, tulang pipi pun menonjol seiring Darsa menunjukkan senyumannya. Menurut Fazaira, si dokter adalah orang yang bisa menenangkan Darsa, bukan dirinya. Fazaira ingin tahu dokter itu mengatakan hal apa saja agar ia bisa mempraktikan di lain waktu, tapi kenapa Fazaira tak dapat merekamnya.

Mereka berdua tiba-tiba memalingkan wajah ke arah Fazaira, lantas gadis itu salah tingkah dan mencoba melakukan aktivitas yang bisa membuat dirinya terlihat sibuk. Fazaira memotong buah, kebetulan meja nakas berada tepat di sebelahnya-dekat jendela.

"Kalau begitu, saya pamit dulu, ya."

Dokter dan suster itu pergi meninggalkan ruang rawat yang diketahui merupakan kelas VIP, sebab hanya Darsa sendiri yang menjadi pasien di dalamnya.

Hening, begitu sepi kondisi sekarang. Antara mereka tidak memiliki topik pembicaraan, atau Fazaira yang terlalut memotong buah. Yang pasti, Darsa hanya memandang lurus ke depan, televisi menyala tanpa ada stasiun yang jelas. Darsa menyesal? Tentu saja. Stasiun TV itu siang tadi menampilkan pertunjukan musik, di mana kekasihnya tampil di atas panggung sana. Bodohnya Darsa yang berjanji akan menonton, memilih untuk kabur dan ingin membunuh dirinya sendiri.

Menyesal pun untuk apa gunanya, kini Fazaira telah kempali, tepat di sampingnya dan sedang memotong sebuah apel. Belum ada percakapan antara mereka berdua sedari tadi, bahkan Fazaira dirasa belum menerima maaf darinya ketika di rooftop tadi.

Pandangan Darsa turun memandang kedua tangannya, sebelah kiri diletakkan pada sebuah guling, sementara yang tangan berada di dekat pahanya. Posisi Darsa sekarang adalah setengah terduduk, tidak terlalu menekan dada, tapi tarikan napasnya terasa berat sekali. Tangan kosong itu selaku tergenggam manis jika Darsa merasa kesepian, baik tergenggam oleh gitar ataupun tangan lentik milik Fazaira.

Beberapa detik kemudian, sepotong apel terletak di telapak tangannya, bersamaan dengan genggaman tangan Fazaira. Gadis itu yang menyimpan agar Darsa memakannya. Pergerakan itu menarik perhatian Darsa yang sedari tadi tidak berani menatap wajah kekasihnya, kini mereka saling mengunci tatapan.

Melodi yang Hilang [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang