❈ Bab 6 ❈

32 12 3
                                    

"Ibu! Ayah!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ibu! Ayah!"

Aku menjerit sepanjang jalan. Aku, Aslan, dan Ila berlari menuju kamar orang tuaku yang berada di lantai paling atas.

Ledakan tadi berhasil menghancurkan tangga penghubung hingga menghalangi jalan.

Aku memgayunkan tangan dari atas ke bawah. "Terbang!"

Aku melompati tangga yang telah runtuh itu dengan sekali lompatan. Aslan juga menyeru mantra yang sama sambil menggandeng Ila.

Setibanya di atas, aku berlari ke arah kamar orangtuaku yang kini tersisa hanya bongkahan dari dinding kukuh yang harusnya bisa melindungi penghuninya.

"Ibu! Ayah!"

Tepat ketika aku membuka pintu, kulihat sosok berambut jingga kekuningan menoleh ke arahku. Sekelilingnya dipenuhi asap hingga aku tidak bisa melihat orang tuaku.

"Kau apakah orang tuaku?!" bentakku. Namun, mataku terbalak menyadari siapa gerangan itu.

Sosok itu tersenyum, begitu dia menggerakkan jari, seluruh pandanganku menjadi gelap.

Bruk!

Aku terempas bersamaan dengan pintu dan dinding yang roboh karena ledakan darinya. Dapat kudengar jeritan Aslan menyeru namaku.

Aslan berhasil menangkap tubuhku. Rasa perih membuatku tidak sanggup bergerak.

"Siapa pelakunya?" tanya Aslan.

Mataku tertuju pada kamar orang tuaku yang telah hancur berkeping-keping, menyisakan puing bangunan berserakan.

"Penjaga," ujarku. "Yang mengatur musim gugur."

Aslan terdiam, seakan berusaha mencerna ucapanku barusan. "Dia di sini?"

Aku tidak berani menjawab.

Aslan berlari menuju kamar. Entah kerasukan apa dia sampai berani masuk tanpa memikirkan siapa lawan kami. Namun, tebakanku salah. "Di mana dia?"

Aku berjalan menghampiri. Benar saja, hanya ada bekas runtuhan dan kepingan dinding yang hancur. "Ibu? Ayah?"

Tidak ada sahutan.

"Kalian benar-benar bodoh."

Ucap seseorang dari belakang.

Tepat ketika kami menoleh dan hendak melawan, dia sudah terlebih dahulu mengarahkan tangan ke kami hingga sihir tersembunyi itu sukses membuat badan kami kaku layaknya patung.

Di depan kami berdiri sosok berambut kuning pucat dengan mata berwarna sama. Rambutnya yang berhiaskan warna jingga pucat tampak menawan dengan kulit berwarna sawo mentah. Di wajahnya yang menarik, dia kenakan sebuah kacamata entah untuk apa. Tidak jelas pula jika ia lelaki atau perempuan, dari postur badan begitu sukar dikira.

"Kalian kira bakal semudah itu menaklukan Vanam?" lanjutnya. "Kalian menculik putri kami dan berharap dia akan membocorkan segalanya? Yang benar saja!"

Bertepatan dengan ucapannya, kulihat Ila berdiri di sisinya. Menatap kami tanpa ekspresi.

The Forest's Daughter [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang