❊ Bab 3 ❊

31 9 1
                                    

Meski telah mengambil alih Davan, kami tetap kembali ke Vanam dan beristirahat di sana hingga fajar menyising

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Meski telah mengambil alih Davan, kami tetap kembali ke Vanam dan beristirahat di sana hingga fajar menyising. Rumah Arman yang megah kini tampak rusak akibat serangan dari Karif. Kami tidak menetap di sana karena ditakutkan akan diserang anggota keluarga lain selagi terlelap.

Sepulangnya dari Davan, aku sempat melihat pemandangan sekitar. Lebih tepatnya rakyat yang keluarga Arman pimpin. Hanya rumah mereka yang berdiri tegak dan tampak bersinar diterpa cahaya matahari maupun bulan, sementara rumah sekitar seakan hanya di bawah bayangan dan menyedihkannya lagi, tampak tidak terawat. Bagaimana mungkin permukiman kumuh itu berada di sekitar rumah mewah? Bagaimana bisa keluarga itu makan hinga kekeyangan sementara keluarga di sebelah meringkuk kelaparan?

Hendak aku ungkapkan perasaanku ini pada keempat orang tuaku, tetapi melihat mereka tidak berucap setelah pertemuan tadi, dengan sorot mata yang mulai meredup tanda lelah, mengurungkan niatku.

Aku diam sepanjang perjalanan seperti mereka selagi kami kembali ke Vanam kemudian terlelap kamar masing-masing. Aku dikembalikan di rumahku, sementara keempat Penjaga pergi membiarkanku terlelap hingga fajar menyising.

***

Aku terbangun agak kesiangan. Ketika matahari sudah mulai tinggi, mata terbuka dan seketika itu juga aku berdiri dan menckba menyeimbangkan diri selama mengumpulakan nyawa. Rupanya kejadian kemarin membuatku begitu lelah meski aku pada dasarnya tidak banyak bergerak seperti keempat orang tuaku.

Di mana mereka saat ini? Aku tidak yakin.

Sudah biasa ditinggal sendiri, apalagi kalau para Penjaga Vanam kini tampak menambah tugasnya menjadi menjaga kedamaian daerah sekitar.

Sudah lama mereka berusaha menarik Davan ke pelukan mereka dari cengkeraman keluarganya Arman. Akhirnya berhasil juga.

Tidak banyak yang kutahu soal keluarga penyihir itu, namun agak janggal jika hanya ada satu keluarga penyihir dalam satu kota terutama Davan. Tapi, aku rasa sebaiknya memastikan bahwa kami tidak akan seaman dahulu.

Aku melangkah keluar rumah. Mentari menyambut sementara rumput segar mulai menggelitiki kaki. Begitu aku berinjak, terdengar bunyi langkah kaki yang telah lama tidak terdengar.

Menghabiskan beberapa hari saja di Davan ternyata tidak seseru yang kubayangkan. Mungkin saja bagi Arman menyenangkan mengingat dia dibesarkan di sana. Ah, di mana anak lelaki itu sekarang?

Seekor kelinci melompat ke dalam semak-semak ketika melihatku mendengar. Pertanda bahwa hutan Vanam masih dalam keadaan kosong. Biasanya jika ada salah satu keempat orang tuaku di sini, pasti binatang tidak akan setakut ini.

Aku berlutut kemudian mengamati sekitar. Menginggat kembali waktu kali pertama mendengar Davan.

***

Aku tidak begitu ingat mengapa, tapi saat itu Karif duduk di sisiku sambil menikmati kue kering darinya.

"Sebentar lagi Ila bakal tumbuh besar," ujar Karif. "Kira-kira siap pergi ke luar?"

"Siap!" Aku menjawab spontan lagi mantap. "Ila bersedia."

Karif tersenyum. "Bagus. Ila tinggal belajar tentang Davan meski sedikit."

Aku diam, mendengar dan menyimak.

"Davan sudah lama menjadi musuh kami, semua terjadi karena keserakahan mereka yang ingin menguasai dunia. Kini mereka telah menguasai Davan, sebuah negeri kecil yang terletak persis di samping Vanam. Kami tskut jika mereka berniat ingin menguasai Vanam dan benar saja, selama puluhan tahun ini keluarga penyihir sering mencoba menyerang bahkan mencuri beberapa tumbuhan berharga."

"Tumbuhan apa saja?" tanyaku.

"Banyak," jawab Karif. Dia kemudian melanjutkan. "Kami akan melawan mereka. Kami pastikan mereka menyesal. Namun, tentu tidak mudah melawan mereka terlebih dengan jumlah banyak seperti itu."

Aku diam saja.

"Kami akan berlatih," ujar Karif dengan nada sedikit berapi, tanda dia mulai terbuai dalam pikirannya sendiri namun tetap menyuarakan. "Setelah Davan ditaklukan, maka kami pastikan juga bahwa rakyat di sana tetap aman dan sejahtera hingga kami pilihkan pemimpin yang layak bagi mereka."

"Berarti, bukan kalian yang jadi pemimpinnya?" tanyaku.

Karif mengiakan. "Kami ingin melakukan sesuatu lebih dari itu."

Aku pun bertanya. "Apa?"

Karif tersenyum, membiarkan dedaunan yang terbang menyapu dirinya hingga lenyap dari pandangan.

Sejak saat itu, aku tidak menemukannya lagi hingga waktu berikutnya.

***

Esok hari setelah kejadian tadi, aku tengah berbaring di rumput sambil mengamati awan.

Ketika aku terbangun waktu itu, tidak ada siapa pun di Vanam. Sepertinya orang tuaku sedang bepergian ke Davan tanpaku, barangkali untuk keselamatan mengingat aku sudah terbukti berkhianat.

Perlahan aku berdiri dan menikmati semilir angin membelai rambut cokelatku. Pakaianku kini kembali berupa terusan putih berian langsung dari orang tuaku. Mereka tidak pernah senang melihat baju buatan keluarga penyihir tadi dan tidak mungkin membiarkanku terus memakainya.

Aku kibas bagian bawah ketika melihatnya sedikit kotor.

"Jadi, di sini rupanya."

Napasku tercekat. Berusaha tenang, perlahan aku menyahut dalam suara pelan agar tidak ketahuan jika aku gemetar bahkan takut.

Wanita itu, Frida.

"Apa maumu?"

"Apa mauku? Aku menuntut balas dendam." Dia mengucapkannya dengan gemetar, terdengar pula suaranya yang sedikit serak entah apa yang terjadi pada dia beberapa waktu lalu.

"Setelah apa yang kalian lakukan?" tanyaku. "Kalian payah, sudah salah, tidak mau mengaku lagi."

"Kalian yang egois." Kudengar suara kakinya melangkah semakin dekat. "Tidak memikirkan nasib buruk yang akan menimpa warga sekitar jika kalian pelit begini."

Aku ingat apa yang harus dikatakan jika disebut begitu. "Pelit? Kalian yang tamak. Kami tidak mungkin menyerahkan sesuatu pada tangan yang salah."

"Oh, kalian kira kami salah?" Frida tidak melanjutkan kalimat tadi, tanda dia menuntut balasanku.

Aku lebih memilih diam. Ada hal yang tidak semestinya diucapkan karena bisa saja lawan bicara tidak akan mendegarkan.

"Nah, diam saja." Frida mendekat. "Dasar pengkhianat!"

Aku memilih diam dan tidak menatap wajahnya meski langkah dia terdengar semakin dekat.

Frida rupanya menyadari sesuatu. Dia hentikan langkahnya dan untuk sejenak membiarkan angin yang bicara.

Dalam bisikan angin, Frida berkata kepadaku. "Kalian selama ini merencakan sesuatu. Tapi, jangan kira kami tidak tahu itu dan memilih berserah diri."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Forest's Daughter [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang