"Kau masih juga datang ke sini ternyata?"
Tanya menjadi tak berbekas, ketika suara hujan meredam eksistensinya, begitu pula gemuruh guntur di atas sana. Tatap tak lagi berpapasan, saling menghindar, meski jarak sudah sedekat itu.
Sadar bahwa jawaban tak mungkin ia dapatkan, lantas kepala menoleh, menatap dalam sosok yang akhir-akhir ini menghantui pikirannya. Setidaknya, beberapa kali mengganggu tidurnya.
"Aku tidak mengerti, kenapa kau harus melakukan hal semacam ini. Kau kehilangan kekasihmu, bukan? Lalu apa hubungannya dengan dirimu menyiksa diri sendiri seperti ini?"
Gadis itu tak kunjung bosan dengan posisinya. Ketika kaki ditekuk ke atas, sementara kepala bersandar lesu pada lutut. Rambutnya yang basah mulai terlihat meneteskan air ketika dirinya terpayungi, sebab hujan tak lagi mengguyurnya.
"Aku tidak memintamu untuk mengerti." ia menjawab dengan seperlunya, tak perlu memperpanjang, sebab tau itu tiada guna. Memaksa orang yang tidak mengerti untuk mengerti hanya akan menguras tenaganya.
Siapapun laki-laki di sampingnya ini, dia hanya menjalani kehidupan dengan normal, sebagaimana mahasiswa pada umumnya. Meski stress karena tugas, dia tidak terluka. Sama sekali tidak.
"Kau tidak perlu mengerti, dan lebih baik jangan mengerti." gadis itu mengubah posisinya, membiarkan wajah tenggelam dalam lipatan tangan, ketika perih mulai menggerogoti dada. "Aku sangat sangat marah sampai tidak tau harus melakukan apa. Dia meninggalkan aku, dan aku benci hal itu."
"Ini tak sama sekali menyiksaku. Sejak awal, kematiannya lah yang menyiksaku."
Angin yang berdesir menambah suara alam pada saat itu. Keduanya memilih diam, menutup mulut rapat, menahan gerakan tetap. Meski sekilas terlihat nyaman, siapapun tak bisa tahan dengan suasana kaku yang teramat.
"Aku," gumam remaja laki-laki itu. "Aku benar-benar tidak mengerti dengan pemikiran orang-orang egois seperti kalian."
Gadis itu tersentak, seketika mengangkat kepalanya untuk menatap figur lawan bicara. Sekilas pandangannya terlihat tajam, meski dalam beberapa detik kembali meredup sebab pikirannya masih juga kalang kabut. "Apa maksudmu?"
Kini kedua pasang netra itu bertatapan, tatap yang menyiratkan ego masing-masing, merasa pendapatnya lebih benar dari siapapun. Meski begitu, garis wajahnya masih menampilkan ekspresi datar, sebab pertempuran terjadi diantara batin yang saling memaki satu sama lain.
"Kau, kau itu egois," tuduh laki-laki itu. "Kau pikir siapa yang lebih pantas bersedih ketika seseorang mati?"
Tak ada jawaban, sebab kini sang gadis tiba-tiba bergelut dengan pikirannya, ada apa dengan laki-laki ini?
"Orang yang mati."
"Orang yang mati adalah orang yang paling menderita ketika dia mati."
Dengan perlahan, kepalanya tertunduk lemah, seiring dengan kaki yang turun dari atas bangku. Sang gadis termenung, dengan segala racauan laki-laki itu yang masuk ke telinganya. Pikirannya seakan dicampur aduk, tak lagi bisa tenang.
"Dia kehilangan masa depannya. Dia kehilangan keluarganya. Dia kehilangan semuanya. Segala yang ia punya!" perkataannya terdengar tanpa nada, hanya suara yang mengandung kemarahan di dalamnya. "Lalu kau? Kau hanya kehilangan satu orang dan merasa menjadi orang paling menderita?"
Laki-laki itu membuang muka, berdecih. "Yang benar saja."
"Kau," panggil Sang gadis. Ia menunduk dengan wajah menggelap, teramat frustasi dengan pikirannya saat ini. "Apa?" tanyanya terputus, menggenggam erat ujung bangku yang ia duduki. "Apa tujuanmu mengatakan hal semacam ini padaku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Under your Umbrella || Sugawara Koushi [✔]
Fanfiction❝Kita dipertemukan di antara air mata langit yang berjatuhan❞ ©Mizura, 2021.