"Heeeeyy!!"
Mendengar suara berseru, seketika kepala menoleh penuh. Helaan nafas lolos dari celah bibir. Meski sedikit, ia merasakan lega yang memancar dari dalam hati. Adapun sang diri tak ingin mengakui, tetapi itulah yang terjadi.
Kini pandangan mengikuti jejaknya yang menghampiri. Dengan satu payung yang sama di tangannya, dan kantung keresek putih entah berisi apa, ia datang dengan lengkungan lembut di bibirnya.
Laki-laki itu, terlihat lebih ceria.
"Aduh, maaf sekali, aku terlambat." ia menyatukan kedua tangannya penuh penyesalan. "Tadi teman-temanku menahan aku supaya tidak pergi, jadi sedikit kesulitan. Kau sudah kehujanan lama, ya?"
Ketika wajah masih menggambarkan ekspresi datar, sebenarnya dalam hati ia tertawa puas. Geli, laki-laki ini ternyata lebih lucu dari yang ia duga. "Sudah, tak apa. Lagipula kau tidak datang pun tidak masalah, kok."
Remaja laki-laki itu menyimpan kedua tangannya di pinggang, berujar sebal, "Ahh! Kan baru saja aku kemarin berjanji, masa sudah ingkar! Pokoknya meskipun sudah terlanjur, aku tidak akan membiarkanmu lebih basah lagi dari ini!"
Benar-benar,
Sangat lucu.
"Oh iya!" laki-laki itu berseru kaget, mengeluarkan telunjuknya ketika mengingat sesuatu. Sesaat kemudian perhatiannya teralih pada tas yang tersampir di sebelah bahu, lantas merogoh sesuatu dari dalamnya.
"Handuk?"
Sang gadis mengangkat sebelah alis. Bertanya, tak mengerti ketika laki-laki itu menyerahkan kain putih kepadanya. Lawan bicaranya mengangguk percaya diri, lalu melanjutkan, "Kau sudah terlalu lama kehujanan, setidaknya keringkan rambutmu. Kau akan pusing jika kepalamu terlalu banyak terjatuhi air."
Gadis itu terdiam, menatapi tangan lawan bicara yang masih terjulur padanya. Dalam rasa bingungnya, ia pun mengangguk, lantas meraih handuk itu dari tangan sang pemuda.
"Terima kasih."
"Tentu!"
Memposisikan handuknya di kepala, gadis itu mulai menggosokkan kain putih itu pada rambutnya. Semuanya jadi berantakan, tetapi ini lebih baik daripada kepalanya terasa berat, sebab air hujan yang menyerap ke dalam rambutnya.
"Ah, aku juga bawa ramen!" seru sang pemuda riang, mengangkat kantung keresek yang ia bawa sedari tadi. "Ramen?"
"Iya! Tadi aku beli di kantin, sudah matang juga. Karena kupikir kau sudah kehujanan lama, jadi sebaiknya makan yang hangat-hangat, pasti kau akan lebih baik."
Handuk pemberian tadi ia simpan di leher, sementara kepala kini menghadap sang pemuda bingung. Dengan alis mengernyit, ia masih mencoba memproses. Kenapa laki-laki ini begitu peduli?
Ah, tapi tidak baik menolak makanan gratis.
"Padahal tidak perlu melakukan hal yang merepotkan, tapi terima kasih."
Pemuda itu tampak tersenyum cerah ketika sang gadis meraih Ramen instan di tangannya. Setelah itu, sang gadis segera membuka tutupnya, sehingga udara hangat langsung mengepul di wajahnya.
Menggelengkan kepala cepat, menetralkan udara panas yang menerpa wajah, gadis itu mulai menghirup wangi ramennya. Ahh, rasanya penciuman gadis itu sudah terberkati. Apa mungkin karena kampus laki-laki ini dekat sehingga ramennya masih panas, ya?
Dengan sumpit yang sudah tersedia bersamaan dalam kantung keresek yang sama, ia mengambil satu suapan, dan memasukkannya ke dalam mulut. Waktunya untuk mengunyah sangat lama, seakan menikmati, dengan iris mata sedikit berbinar.
Helaan nafas lolos.
Benar, ini lebih baik.
"Tapi aneh juga, ya." ketika pemuda di sampingnya melanjutkan pembicaraan, ia tetap fokus pada makanan hangatnya. "Selama ini kau selalu kehujanan dan terkena angin dingin ketika bajumu basah kuyup, tapi sepertinya kau sehat-sehat saja."
Sembari menelan Ramen dalam mulut, gadis itu mengangguk membenarkan. "Iya, aku memang punya kekebalan tubuh yang lebih baik dari kebanyakan orang, kurasa itu bisa disyukuri. Kau mau?" ia beralih mengangkat sumpitnya ke depan, membiarkan laki-laki yang memberikan makanan ini bisa ikut mencicipi.
Mengangguk, pemuda itu sedikit berjongkok. "Wah, hebat juga, ya." ia membuka mulut, menerima suapan Ramen dari gadis di hadapannya.
"Hebat ..."
Kepala sang pemuda dimiringkan. Merasa bingung, sebab hening tiba-tiba hadir menemani. Gadis itu mengalihkan tatap pada makanannya, mengaduk Ramen tidak nafsu. "Kenapa?"
"Aku hanya merasa aneh." ia menghembuskan nafas dari bibirnya. "Aku, aku tidak punya orang tua. Hidup dengan pas-pasan juga. Selama ini aku sekolah dengan beasiswa, ingin kuliah pun tidak bisa."
Kepalanya semakin menunduk lemas, menunjukkan wajah tidak minat. "Semua orang selalu menatapku dengan pandangan kasihan. Entah kenapa aku tidak menyukai itu." tangannya yang menggenggam sumpit mulai mengerat, menahan gejolak pada dada.
"Seakan, menyayangkan kenapa aku harus ada di dunia ini."
Senyap menjadi teman, dikala keduanya sibuk tenggelam dalam benak. Angin lembut berhembus menerpa wajah. Menghempas surai, pula membawa rasa dingin. Keduanya, benar-benar terjebak.
"Tapi menurutku, kau tidak perlu dikasihani, deh."
Kelopak sang gadis berkedip beberapa kali. Kepalanya menoleh, membalas tatap pemuda itu dengan sirat heran pada netra.
"Malah aku iri padamu."
"Iri?" ulangnya bingung, memiringkan kepala.
Sang pemuda mengangguk. "Kau sepertinya sudah melalui kehidupan yang sulit, ya?" tanyanya. "Tapi setelah semua itu, sampai hari ini kau masih bertahan untuk tetap hidup."
Lantas, sebelum melanjutkan ucapannya ia mengulas senyum manis, hingga matanya mencipta lengkungan yang teramat indah. "Bagiku, orang yang bisa menghargai nyawanya, lebih hebat dari apapun."
Ini hari yang dingin, tetapi kenapa,
Hawanya panas, ya?
"Ng?"
"Apa cuma perasaanku saja, atau wajahmu memang agak pucat?"
⋇⋆✦⋆⋇
KAMU SEDANG MEMBACA
Under your Umbrella || Sugawara Koushi [✔]
Fanfiction❝Kita dipertemukan di antara air mata langit yang berjatuhan❞ ©Mizura, 2021.