1 - Arithmancy

5.9K 336 6
                                    

Hermione duduk di tepi ranjang nya. Melihat ke luar jendela. Bukan, bukan melihat, karena tatapannya kosong. Tepatnya ia melamun.

Seekor burung seputih salju terbang ke arah jendelanya. Hermione tak memperdulikan itu karena memang tak tahu. Mata coklat nya tetap kosong.

Ia baru terbangun dari lamunannya saat paruh burung itu di hentakan ke jendela kaca.

"Hedwig!!" Pekik Hermione.

Di buka nya jendela tersebut, dan Hedwig langsung terbang masuk ke kamar Hermione. Berputar-putar beberapa saat sebelum akhirnya mendarat di meja. Perkamen-perkamen panjangnya hampir jatuh.

Setelah Hedwig bertengger di meja, Hermione dengan sigap mengambil surat yang tergantung di kaki burung hantu itu.

"Oh Merlin! Harry terlalu banyak bermimpi! Tak mungkin ia melihat Sirius di Magnolia Crescent," Gumam Hermione.

"Kau tahu Hedwig, tuan mu agak terpukul sejak Sirius meninggal. Dia terlalu banyak halusinasi. Dan.. ini. Sampaikanlah balasanku," lanjutnya saat sudah selesai menulis balasan surat Harry.

Hedwig pun terbang lagi melewati jendela Hermione yang kini terbuka lebar.

***

"Kau tahu? Dad, Mom, Bill, Charlie, bahkan Percy melarangku pergi ke Hogwarts lagi mengingat Kau-Tahu-Siapa kembali. Itu bodoh, maksudku, siapa yang berani menyerang Hogwarts kalau masih ada Dumbledore?" Oceh Ron saat di Hogwarts Express.

"Ya. Bahkan orang tua ku yang muggle pun sudah merasakan bahaya," Balas Hermione.

Harry diam. Kalau saja ia cerita kan semua kepada Paman Vernon, ia tahu ia takkan mendapat larangan pergi ke Hogwarts. Mungkin Paman Vernon akan mendukungnya 100%. Dan tentu saja memarahinya saat liburan musim panas nanti karena Voldemort belum bisa membunuhnya.

"Harry?" Panggil Hermione.

"Mengenai suratmu.."

"Tidak, Hermione. Aku sadar Sirius sudah pergi," potong Harry.

Hari sudah malam saat mereka menapakkan kaki di Hogwarts. Seleksi pun sudah selesai. Kini mereka sedang sibuk menghabiskan makanan yang tersedia.

Daging domba, paha Kalkun, pai apel, dan jus labu menghiasi meja di sekitar Ron. Belum sampai 15 menit saat semua itu habis. Rekor baru telah dicetak oleh Ron Weasley sebagai pemakan terbanyak dalam waktu tercepat.

Brown terkikik geli saat melihat mulut Ron tak kunjung berhenti. Bahkan saat piring nya sudah kosong.

Sesaat kemudian mereka sudah berada di ruang rekreasi. Beberapa anak memang belum tidur di malam yang selarut itu.

"Arithmancy?" Pekik Ron kaget saat ia sedang memeriksa jadwal.

"Ya, wajib untuk siswa tahun ke-6," kata Hermione tanpa menoleh.

"Untuk apa? Bagaimana kau bisa tahu?"

"Mr. Weasley, tak ada yang memanggilku Nona-Tahu-Segala tanpa alasan, kau tahu?" Geram Hermione.

"Dan itu wajib, karena.. menurutku itu penting," lanjutnya.

Kali ini Harry angkat bicara, "Jadi kau yang mengusulkannya?"

Hermione mengangguk pelan, "Tahun kemarin, murid Arithmancy hanya aku dan satu anak Ravenclaw. Jika tak di jadikan mata pelajaran wajib, Professor Victor akan kehilangan profesi nya. Dan Professor McGonagall sependapat denganku."

"Dan sekarang lihat, Mione!!" Ucap Ron ketus sembari memperlihatkan daftar pelajaran.

"Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, bersama Hufflepuff. Arithmancy, bersama Slytherin. Dan Astronomi, lagi-lagi Slytherin," lanjut Ron.

"Kau ingin membunuh kami besok?" Ujar Harry.

***

Hari telah berganti dan tentu saja tak bisa mereka-Harry dan Ron- hindari. Pelajaran pertama di tahun ajaran baru seharusnya menyenangkan. Tapi sepertinya hanya isapan jempol belaka.

"Kalian terlambat, Potter, Weasley. Potong lima poin dari Gryffindor," Kata Snape.

"Maaf, Professor. Kami membantu Professor Sprout menanam kembali Mandrake yang -entah bagaimana- lepas sendiri," ungkap Ron jujur.

"Seharusnya tak perlu, Weasley. Itu tugas murid tahun kedua."

"Tapi, Professor Sprout menyuruh kami ..."

Belum selesai Ron bicara, Snape sudah memandangnya seram, "Kau tidak bicara pada tempatnya. Mau jadi seperti Granger, heh? Potong lima angka dari Gryffindor."

"Oh ayolah, Ron. Diam atau lima angka hilang lagi," Bisik Hermione.

Beberapa jam kemudian, anak Gryffindor dan Slytherin tahun ke enam sudah berada di kelas Arithmancy. Diagram panjang tergantung di depan kelas. Semua sibuk dengan buku masing-masing, karena tanpa diduga, Professor Victor langsung memberikan tugas.

Sebelum itu, Professor Victor sudah membagi murid-murid nya dalam beberapa meja. Satu meja diisi dua orang dan harus berasal dari asrama berbeda. Celaka nya, keputusan sang guru tak bisa di ganggu gugat.

"Kau bagi jawabanmu dan aku tak akan mengataimu darah-lumpur. Bagaimana? Cukup seimbang?" Gumam Draco yang berhadapan dengan Hermione.

"Diam, Malfoy!!" Bentak Hermione dalam suara pelan.

"Oke. Terserah. Jika memohon adalah yang kau inginkan. Bermimpilah!"

Hermione diam. Merutuki Professor favoritnya yang telah tega membuatnya duduk bersama si pirang yang menyebalkan. Gumaman-gumaman tak pantas terus dilontarkan Draco.

"Apa lagi yang bisa membuatnya jengkel dan memberikan jawabannya padaku? Ah dasar darah-lumpur kotor yang pelit! Arithmancy adalah sampah kedua setelah ramalan dengan si-aneh-Trelawney maupun centaurus bodoh itu," kata Draco panjang lebar yang mampu diucapkannya dalam hati.

Sekitar delapan detik kemudian, Hermione menyerah. Perkamennya diserahkan begitu saja kepada Draco. Seriangai-an maut andalan Draco langsung keluar begitu dilihatnya tangan Hermione menjulurkan perkamen.

"Sudah kuduga, Granger."

"Dan ku harap kau bisa menjaga janji mu!!"

Apa? Aku mengharapkan janji Malfoy? Pikir Hermione. Logika nya baru berfungsi sesaat setelah berkata. Tapi apa boleh buat, tak bisa bermain dengan waktu-- setidaknya setelah time turner dari McGonagall disita pada tahun keempat.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Hermione merasa sangat ingin Arithmancy berlalu dengan cepat. Ia sudah muak lama-lama berhadapan dengan Draco. Ingin sekali Hermione meninju pria di depannya ini seperti tiga tahun lalu. Tapi ia tak ingin merusak kebahagiaan Professor Victor yang baru saja mendapat murid banyak (meskipun tak ada yang ikut dengan ikhlas).

(Bukan) Hanya MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang